Wednesday, August 8, 2012

# Cerpen Ala-Ala

Waiting In Vain.


Ini tahun ketiga perjuanganku mengejarmu. Apa yang harus aku lakukan di tahun ketiga ini? Tetap meneruskan hingga tahun keempat ataukah berhenti di tahun ke tiga? Jika orang-orang terdekatku tetap terus memaksaku untuk mundur dan menghentikan semua usahaku, tidak dengan keinginanku. Aku masih teguh dengan pendirianku untuk mendapatkan kamu, tak peduli sesering apa kau memperlakukan aku dengan apa yang kata orang menyakitkan. Aku tak pernah pedulikan kata orang, aku hanya pedulikan kataku dan katamu untuk hal ini. Aku hanyalah tempat sandaranmu, ketika kau lelah, ketika kau sedih, ketika kau merasa dunia menolakmu, kau selalu datang untuk mencari pelukanku. Ini adalah saat dimana ketika aku merasa aku berharga untukmu. Arsya, kau Masih menyita seluruh pikiranku hingga saat ini. Seorang wanita yang sudah aku perjuangkan mati-matian, aku korbankan seluruh perasaanku. Aku relakan semua kesakitanku, terlebih ketika aku harus menunggumu selama 2 tahun karena kau masih bersama pacarmu. Kau tahu? Rasanya aku ingin membunuh pacarmu ketika aku lihat dia bersamamu. Memegang tanganmu, mengelus rambutmu, merangkulmu dan bahkan memelukmu didepan mataku. Tidakkah kau tahu remuknya hatiku saat itu? Kau tidak pernah tahu.
Aku tidak tahu mengapa aku bisa sebegininya kepadamu, aku mulai menaruh perasaanku padamu disaat itu, disaat aku melihatmu di hari pertama ospek kampus kita. Semuanya berawal dari pandangan pertama itu, membuat aku penasaran denganmu dan aku cari tahu segala tentangmu. Aku tanya pada teman-temanmu siapakah namamu. Dan ternyata namamu adalah Arsya Paramitha, hai ini adalah langkah pertamaku. Kemudian aku mulai mencari alamatmu, dan segala tentangmu. Wah ternyata kita satu jurusan, kita sama-sama di Ilmu Komunikasi. Alangkah senangnya ketika tahu bahwa kita akan sekelas nantinya. Ku beranikan diri untuk menghampirimu. 

Siang itu ketika jam istirahat, kau duduk sendirian di taman dekat mesjid dan aku memberanikan diri menghampirimu dan menanyakan namamu padahal sebelumnya aku sudah mengetahuinya. Kali itu adalah pertama kita berkenalan. Aku mulai dengan basa-basi menanyakan hal tidak penting padamu.

"Boleh aku duduk disini?""Eh iya silahkan."
"Sendiri aja? Eh anak fikom juga yah? Kenalkan aku Dimas, kamu siapa?"
"Eh iya nih, kebetulan aku sengaja bawa bekal, teman-teman lagi pergi beli makanan. Iya aku Fikom, kamu juga ya? Aku Arsya. Kok kamu sendiri juga?"
"Wah namamu bagus, oh kebetulan saja aku lewat dan lihat kamu sendiri aku penasaran lagi apa kamu sendirian disini hehehe"
"Ah kamu ini bisa aja hehehe, eh itu udah mau mulai. Kesana bareng yuk, Dim."

Baiklah, dia benar-benar orang yang sangat ramah. Kami pergi berdua ke lapangan setelah pecakapan singkat yang menjadi awal dari segala kebahagiaan dan kesakitan itu. Percakapan singkat yang menjadi gerbang segala kegalauan, kerisauan dan ketidakpastian hatiku hingga saat ini. Sejak itu, semasa ospek kami selalu pergi bersama-sama.Aku selalu menjemput dan mengantarnya pulang setiap hari. Saat itu aku belum tahu dia memiliki pacar atau tidak. Aku tetap melancarkan aksiku untuk mendekatinya, dan aku merasa nyaman bersamanya. Kami menghabiskan waktu berdua setiap harinya selama di kampus.

Sampai pada suatu hari, ketika aku berniat mengunjungi rumah Arsya pada Sabtu Malam di minngu ke 2 di bulan April, tahun 2009. Aku lihat ada sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. Aku bertanya-tanya dalam hati. Ratusan tanya menyeruak dalam kepalaku, aku dikelilingi rasa penasaran yang hebat. Mobil siapakah itu? Siapa pemilik mobil ini? Aku tidak pernah melihat mobil itu sebelumnya. Siapakah orang yang datang di Sabtu Malam seperti ini? Apa hanya saudaranya?. Aku terus diliputi rasa penasaran dan dengan gemetar aku mencoba masuk untuk melihat siapa kah yang mengunjungi Arsya di malam itu dengan harapan memang itu saudaranya yang berkunjung dari luar kota menggunakan mobil dengan kode polisi "B" itu. Aku beranikan diri untuk melangkahkan kakiku ke dalam rumah Arsya, ini tidak seperti biasanya, aku benar-benar deg-degan. Aku tidak mengerti kenapa aku harus se tegang ini. Ketika baru satu langkah aku memasuki rumahnya, di ruang tamunya ada seorang laki-laki yang duduk sambil tertawa bersama Arsya.

Aku... Aku tidak tahu harus berbuat apa, rasanya aku melemas dan ingin pergi saja. Aku tidak sanggup untuk mengetahui lebih banyak tentang siapa yang sedang bersamamu itu, Sya. Aku berniat untuk langsung pergi pulang saat melihatnya. Namun kau terlanjur melihat aku datang, niat awalku adalah hanya untuk mengunjungi Arsya seperti biasanya. Aku tidak tahu jika ternyata akan berakhir seperti ini.

"Eh Dimas, sini sini mau kemana kamu? Sini Masuk ayo ngobrol bareng. Duduk sini ayo!" Ajak Arsya padaku sambil menarik tanganku sangat kencang. Ketika itu juga rasanya aku ingin pulang dari rumah Arsya, perasaanku semakin tidak enak. Aku berkata dalam hati "Siapa sih laki-laki ini? Apa dia pacarnya Arsya?" Ketika Arsya menarik tanganku, aku hanya bisa tersenyum padahal sebenarnya saat itu juga aku merasa kesalku memuncak.

"Dim, kenalin ini Pras. Dia pacar aku, dia lagi libur dari praktek dokternya jadi dia main kesini buat ketemu aku. Kita pacaran udah mau setahun loh Dim. Iya nggak Pras? hehehhehe"

"Iya, kenalkan saya Pras, pacarnya Arsya. Kamu sahabatnya Arsya itu ya? Dia sering cerita tentang kamu sama saya. Makasih ya udah nemenin Arsya disini. Kita kepaksa LDR-an udah setengah tahun sejak Arsya harus kuliah di Bandung. Makasih udah jagain Arsya disini loh, saya jadi tenang di Jakarta"


Rasanya aku ingin menonjok si Pras saat itu juga, atau bahkan aku ingin sekali membunuhnya. Kenapa Arsya tidak pernah cerita tentang Pras? Kenapa dia menyembunyikan tentang pacarnya? Apa maksud dia? Apa aku hanya menjadi seseorang dimana dia bisa melepaskan segala penatnya dan dia tak mau menceritakannya agar aku tidak pergi darinya? Agar aku bisa selalu ada untuknya? Rasa marahku sangat meledak-ledak, tapi aku harus menyembunyikannya di hadapan Arsya. Dia tidak boleh tahu jika aku marah.

"Oh saya Dimas. Iya sama sama Mas Pras."


Malam ini, di hadapanku, aku harus menyaksikan orang yang aku sayang sedang bersama orang yang dia sayang dan aku harus menahan rasa sakit ini. Inilah awal dimana aku akan semakin mengetahui banyak hal yang akan semakin mencabik perasaanku dan menghancurkan hatiku. Tanpa pikir panjang aku segera berpamitan dan memilih untuk pulang. Aku hanya berkata "Aku pulang ya Sya, takut ganggu kalian." Tanpa mendengar respon dari Arsya aku segera pergi meninggaklkan sepasang kekasih yang sukses mengahancurkan perasaanku malam itu.

Dengan langkah yang gontai aku segera menuju ke motorku yang aku taruh sedikit jauh dari rumah Arsya, maksudnya biar tidak kedengaran bahwa ada aku datang. Malam itu aku benar-benar remuk. Segera kunyalakan motorku dan ku lajukan dengan kecepatan penuh, tak ku pedulikan jalanan malam itu. Tanpa pikir panjang sesampainya di rumah, aku memilih langsung tidur dan tak ingin mengecek Handphoneku sama sekali. 

Aku baru bangun pukul 1 siang, ketika aku lihat sudah tidak ada siapa-siapa di rumah. Aku masih tidak ingat tentang Handphoneku. Aku pergi ke dapur untuk mencari makanan, ibu sudah menyiapkan makanan untuk aku makan. Aku pergi ke ruang TV dan menyalakan TV. Rasanya semangatku mulai menguap entah kemana. Ketika itu telepon rumah berdering, sangat malas rasanya aku untuk menghampirinya. Tapi mau tidak mau aku harus bergerak dari posisiku yang sedang nyaman menonton TV.

"Halo?"
"Halo Dimas? Mas kemana aja sih Mas? Dari kemarin aku sms, aku telpon, ga ada jawaban dari kamu. Kemana aja sih Mas? Kenapa kamu? Tumben-tumbenan banget. Padahal kemarin aku ingin cerita sama kamu Mas. Mas aku kerumah ya? Pengen cerita banget Mas"
"Eh Sya, maaf. Aku baru bangun dari tadi malam. Aku tidur sepulang dari rumahmu. Ah jangan, aku ada acara keluarga, akan pergi sebentar lagi."
"Ah Dimaaas, yaudah besok aja ya di kampus. Aku tunggu pokoknya ya, besok jemput aku kan kayak biasa?"
"Duh gimana ya Sya, besok kayaknya aku disuruh anter adeku. Aku nggak janji ya?"
"Ih Dimas kenapa sih? Ko gitu? Yaudah deh gapapa. Kalo nggak jemput sms aku ya, biar aku minta anter sama Ayah aja”
"Iya Sya, maaf banget ya"
"Iya Mas, yaudah deh aku takut ganggu. Makasih Mas, dadah"

Percakapan kami berakhir setelah Arsya menutup sambungan telepon. Aku tahu aku salah membuat peubahan yang seperti ini. Arsya pasti akan sangat bertanya-tanya atas perubahan sikapku padanya. Apa ini salah? Apa aku salah? Apa aku.... Aku bingung dengan ini. Ditambah aku masih berkewajiban mendengar ceritanya besok. Aku tahu, dia pasti akan bercerita tentang si Pras yang brengsek itu! Baiklah, sakit hati bahkan bisa membuat seorang pria menjadi sekacau dan sekalut ini. Aku tahu tidak seharusnya seperti ini. Aku harus tetap menutupi apa yang kurasa. Pria mana yang akan menangis hanya karena hal seperti ini? Ada, dialah seorang pria yang benar-benar mencintai wanitanya. Tetaplah aku tidak boleh menjadi sedih, ini adalah hal sepele. Pria macam apa jika aku tidak mampu struggle untuk hal seperti ini. Ah pengecut jika aku begini saja sudah kalah. Tapi semoga Arsya tidak sadar dengan perubahan aku ini. Karena aku pasti tidak akan memiliki jawaban atas pertanyaannya jika yang dia tanya adalah "Mengapa aku berubah padanya?". Sudahlah, lihatlah bagaimana besok. Apa yang akan terjadi besok biarlah mengalir apa adanya.

Aku tiba-tiba teringat tentang Handphoneku dan ternyata memang banyak sms dan telepon dari Arsya. 5 telpon dan puluhan sms darinya. Baiklah, mungkin aku memang sangat berharga baginya. Berharga untuknya ketika dia memang butuh aku disampingnya.

**
Pagi ini. Rasanya aku enggan beranjak dari tempat tidur untuk pergi ke kampus. Tapi, bagaimana lagi. Aku segera mandi, sarapan dan kemudian mengendarai motorku pergi ke kampus. Aku langsung menjemput Arsya. Rasanya aku masih ingin melihat dia sebagai wanita cantik yang aku lihat pertama kali di pagi hari. Ah semua orang yang dimabuk cinta pasti selalu lebih mengindahkan hati dibanding logika. Saat itu aku melupakan bahwa aku sedang kecewa. Aku segera meluncur ke perhentian pertamaku.

"Pagi Arsyaaaa"
"Ah Dimas, datang juga kau ternyata, untung aku belum pergi. Kau tidak sms aku sih. Ayo pergi sekarang, keburu macet nanti telat"
"Yaudah ayo, nih helm kamu. Sana Pamit dulu kamu."
"Yah, Bu, Arsya pamit pergi dulu ya."


"Mas, kemarin ternyata Pras bawain bunga buat aku coba Mas. Aku seneng bangeeet tumben banget Mas dia romantis. Kamu waktu itu pake tiba-tiba pulang deh. Kamu kenapa sih? Padahal Mama nyari kamu katanya mau ngasih kamu Masakan buatan Mama. Mama denger suara kamu tapi kamu udah keburu pulang Mas"
*degg* aku terkaget dengan yang Arsya katakan.
"Oh iya Sya? Baik sekali ya Pras. Semoga kamu langgeng ya sama dia. Tapi jangan lupa sama aku lho kamu. Oh bilangin maaf sama mamamu ya. Aku nggak tahu habisnya Sya"
"Iya Mas gapapa kok, ih terus ya Pras nya cium kening aku Maaaas. Aku terbang langsung hahahaaha. Ih ya ampun pokoknya aku seneng banget kemarin. Tapi Prasnya gak lama di Bandung. Kemarin dia udah harus pergi lagi ke Jakarta dan nggak tahu kapan aku ketemu dia lagi. Kangen lagi nih, yah nasib long distance nih gini Mas"
"Cie ada yang lagi seneng nih. Ya Masih mending daripada jomblo kayak aku Sya hahahhahahha"

Dibalik riangnya percakapan kami sebenarnya ada rasa sakit yang terselip dalam hatiku. Sembunyikan itu seapik mungkin. Sekarang ketika Pras tidak ada, tugasku lah yang membahagiakan Arsya. Membuat senyum selalu mengembang di wajahnya setiap hari adalah kemauanku. Karena kebahagiaanya adalah kebahagiaanku sekalipun aku sakit dan dia tidak pernah menyadarinya.

**
Seharian itu kami menghabiskan waktu bersama seperti biasa. Sampai pada sore hari ketika jam kuliah berakhir, Arsya tampak pucat. Aku takut dia sakit karena kelelahan, aku segera bertanya padanya

"Sya, kamu baik-baik aja? Kamu pucat Sya. Pusing?"
"Iya Mas, aku mendadak pusing. Anter aku pulang sekarang yuk Mas. Aku mau istirahat aja di rumah"
"Yaudah ayo Sya, sini pegangan aku kalo kamu pusing"

Sambil aku memegangi Arsya yang ternyata suhu tubuhnya panas sekali, aku merasa panik. Aku berikan jaketku untuk dia kenakan. Dia nampak pucat sekali. Kenapa dia? Perasaan tadi pagi dia masih tidak apa-apa, dia  masih ceria. Apa ketika jam kosong tadi dia tidak makan? Aku kan bersamanya terus, bagaimana bisa aku tidak tahu itu. Di motor dia tertidur sambil memelukku, dan aku membiarkannya tidur. Aku tak tega melihat dia lemas seperti itu. Tangannya yang panas karena suhu badannya meninggi dia lingkarkan ke perutku. Aku usap tangannya sepanjang jalan, dengan harapan dia akan merasa nyaman. Aku tidak mau banyak bergerak, aku takut dia terbangun. Sampai akhirnya tiba dirumahnya dan aku berusaha tidak membangunkannya. Sedikit sulit sampai akhirnya aku menggendongnya ke kamarnya. Ibunya pun kaget dan segera membukakan pintu kamar Arsya, kami berbincang tentang apa yang terjadi. Lalu ibunya Arsya membiarkan aku menjaga Arsya dulu sebentar. Aku selimuti dia dan aku pastikan dia sudah merasa nyaman. Aku usapi rambutnya, dan rasanya aku ingin melakukan apa yang Pras lakukan padanya. Aku mencium kening Arsya secara diam-diam dan rasanya begitu membuat aku bahagia, untung ketika Ibunya datang aku sedang tidak melakukan apa-apa. Ibunya datang membawa kompresan dan aku berkata biar aku saja yang menjaga Arsya. Aku yang mengganti kompresannya, aku menjaganya semalaman. Sampai akhirnya aku tidak sadar ternyata aku tertidur sembari memegang tangan Arsya. Ketika Arsya terbangun, aku pun ikut terbangun dan aku kaget karena aku sedang memegang tangan Arsya. Dengan spontan aku melepaskan peganganku.

"Eh kamu sudah bangun, pa... pagi Sya. Maaf aku tidur disini"
"Eh pagi Mas, kamu nggak pulang? Kamu tidur disini? Ya ampun ko repot-repot Mas?"
"Gapapa Sya, semalem panas kamu tinggi Sya. Aku yang anter kamu dari kampus. Di motor pun kamu tidur. Kamu tidur sampe barusan. Kamu kenapa Sya? Nggak makan ya?"
"Iya kemarin males makan, eh ternyata malah kebablasan nggak makan"
"Yaudah sekarang kamu istirahat aja ya sampe sembuh. Aku mau pulang dulu."
"Iya makasih Mas, hati-hati di jalan"


**

Pagi hari di awal tahun 2010.
Sudah setahun lebih sejak aku mengenal sosok Arsya yang bahkan detik ini masih aku kagumi sebagai satu-satunya perempuan yang berhasil menyita seluruh pikiran, perasaan, hati dan jiwaku. Seluruh hariku sudah ku persembahakan untuknya setahun terakhir ini. Namun dia tetap tidak sadar atas arti perjuanganku. Ya, sebaiknya aku sadar diri dan tetap berusaha. Di tahun kedua ini, aku Masih menjadi satu-satunya orang yang dijadikan pelabuhan Arsya ketika dia membutuhkan seseorang. Senyum manisnya adalah senyum yang selalu menenangkan hatiku hingga detik ini. Tahun kedua aku menjadi penikmat senyum manis yang aku lihat setiap paginya. Tahun kedua aku menjadi seseorang yang selalu menarik perhatiannya Arsya. Ah aku selalu senang melihat dia tertawa, aku selalu senang ketika dia membutuhkanku, aku selalu senang ketika dia bisa kembali tersenyum dan bangkit dari sedihnya.

Selama setahun kemarin kami menghabiskan waktu bersama...
Sekalipun kadang aku harus menahan rasa sakitku ketika melihat dia bersama Pras. Aku harus pura-pura ikut tertawa bahagia bersama mereka, ikut merasakan mereka bahagia padahal aku malas. Demi Arsya apapun akan ku lakukan, tapi rasa sakitku ternyata berakhir di tahun ini, mungkin. Itu adalah karena pada akhirnya perjalananku di akhir 2010 membuahkan hasil. Kesabaranku mendapatkan jawaban. Arsya dan Pras putus! Ketika itu aku tahu sendiri dari Arsya yang sengaja datang ke rumahku pada malam hari tanpa bilang padaku sebelumnya. Itu adalah di hari Rabu malam pada pertengahan bulan Desember. Aku dikagetkan ketika aku sedang asyik membaca novel yang baru ku beli kemarin siang, aku membaca di ruang tamu dan kemudian ada seseorang yang mengetuk pintu. “Siapa sih malam-malam begini bertamu?” Tanyaku. Aku segera beranjak untuk membuka pintu. Dan kudapati Arsya yang sedang menangis dan langsung memelukku. “Ada apa ini? Kenapa Arsya?” Tanyaku dalam hati.

“Dimas aku putus sama Pras barusan, Pras telepon aku dan tiba-tiba ngajak putus, dia matiin telpon aku dan malah marah sama aku Mas.”
“Apa Sya? Yaudah sini duduk dulu baru cerita udah jangan nangis Sya”

“Mas, Pras tiba-tiba nelpon cuma buat minta putus sama aku. Emang kemarin kita berantem, tapi udah selesai. Aku ga terima kalo dia sepihak kaya gini. Aku sakit hati Mas. Salah aku apa sampai-sampai Pras gini sama aku?”
“Udah Sya udah, yang kuat aja kamunya ya. Terima aja semuanya, pasti ada hikmahnya ini semua. Kamu harus percaya bahwa abis ini akan ada hal baik buat kamu. Cowo bukan cuma Pras aja ko Sya”
“Iya Mas Cuma aku gak habis pikir kenapa dia kayak gini sama aku? Apa dia punya pacar baru disana? Ah yaudahlah semoga tuhan ngasih yang terbaik buat aku. Aku nggak mau nangis lagi.”
“Nah gitu dong, itu baru Arsya yang selama ini aku kenal. Janji sama Dimas nggak sedih lagi, oke?”
“Oke Mas, makasiiiih. Aku mau diem disini dulu boleh ya? Biar ngobrol dulu aja sama kamu daripada bete di rumah”

Antara senang dan tak tega melihat Arsya menangis seperti itu tapi aku memang senang mengetahui dia putus dengan Pras. Mungkin ini awal dari perjuanganku yang sebenarnya.

**

Sepanjang tahun 2011 semua berjalan sangat mulus dan lancar. Rasanya harapanku melambung tinggi, aku optimis akan mendapatkan Arsya dan berencana untuk menyatakan cintaku padanya pada akhir tahun nanti. Kenapa aku memutuskan pada akhir tahun? Biar aku melakukan pendekatan yang lebih jauh dengannya. Aku tidak pernah menyangka bahwa akhirnya ini yang aku tunggu bisa terjadi. Sepanjang 2011, aku lebih dekat dari sebelumnya dengan Arsya. Dia menjadi segalanya bagiku. Bahkan dia sudah berani untuk memelukku dengan intensitas yang sering, dia katanya merasa nyaman, kadang dia terlelap dalam pelukanku. Semoga ini menjadi tanda bahwa perjuanganku tidak sia-sia. Arsya selalu membuatku bahagia, tahun ini adalah yang terindah karena aku bebas dari rasa sakitku, tidak seperti semasa Arsya masih bersama Pras. Kami tetap menghabiskan waktu bersama setiap hari. Kali ini kami sering menghabiskan waktu bepergian ke banyak tempat baru, kami pergi ke sebuah bukit, ke banyak tempat makan, ke sebuah tempat rekreasi, ke tempat renang dan banyak sekali tempat yang kami kunjungi untuk menyenangkan hati kami. Dari Januari hingga Desember di tahun 2011 terasa menyenangkan saat aku melaluinya bersama Arsya. Bersama yang paling aku kasihi. Belakangan ini aku baru tahu bahwa dia pandai memasak dan dia pun sering membuat masakan untukku, untuk makan siangku dia sering memasakan untukku. Ini rasanya seperti aku punya seorang pacar. Tapi kami memang belum memiliki status. Aku kadang ingin mengharapkan lebih, hany saja aku masih bingung kapan aku akan segera menyatakan perasaanku. Dipercepatkah atau tetap pada pendirian awalku? Apa aku harus menunggu akhir tahun? Rasanya aku harus membuat perjuangan lebih untuk mengambil perasaannya dan aku pilih bulan Desember untuk segalanya.
**

Datanglah bulan Desember yang aku tunggu-tunggu. Aku berencana memilih tanggal 19, aku akan ajak dia pergi ke padang rumput ilalang tempat favorit kami. Aku sejak kemarin bingung akan mengatakan apa pada Arsya nanti. Yang jelas aku akan ajak dia pergi dulu. Aku telepon dulu Arsya…

*Tuuuuut…. Tuuuuuuuuuuut*
“Halo?”
“Iya halo. Sya…”
“Iya kenapa Mas?”
“Sya lagi sibuk nggakk? Jalan yuk”
“Kemana Mas? Aku lagi pengen ke ilalang kayak biasa, kesana yuk Sya”
“Loh tumben-tumbenan kamu yang ngajak duluan kesana, biasanya juga aku hahahaha”
“Ah pokonya aku lagi pengan kesana, yuk Sya? Aku jemput kamu setengah jam lagi harus udah cantik ya? Nggak mau tahu.”
“Hahahhahah ada apa sih Mas? Ko tumben? Ah pokonya ayo kita jalan udah sana siap-siap dulu kamunya juga.”
“Yaudah nanti aku jemput ya, Sya. See you”

Oke, aku harus menyiapkan mentalku. Siap dengan semua jawaban yang akan Arsya berikan padaku. Semoga tuhan berpihak padaku kali ini. Semoga perjuanganku menemukan hasil.
**
“Syaaaa aku udah nyampe, ayo pergi”
“Bentar Mas, aku pake sepatu dulu”
**
“Ayo Mas kita pergi”
“Pake jaketnya, dingin”
“Iya ayo ah pergi”
**
Jam 5 sore, kami sampai di ilalang kesukaan kami. Aku dan Arsya mulai berbicara dan mengambil foto kami masing-masing. Dan rasanya aku ingin cepat-cepat mengutarakan perasaanku pada Arsya. Ketika kami diam dan sedang tidak melakukan apa-apa, aku memberanikan untuk memulai percakapan, waktu itu posisinya adalah Arsya bersender di punggungku sambil melihat hasil foto di kamera nya.

“Sya aku mau ngomong sesuatu sama kamu deh”
*Arsya membalikkan badannya padaku dan kami berhadapan*
“Iya Mas, kenapa? Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja langsung Mas, ko sungkan gitu sih”
“Tapi kamu jangan kaget ya?”
“Mas mau ngomong apa sih? Ko bikin aku tegang aja”
“Hahahaha lebay kamu Sya, sebenernya aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku mau jujur tentang perasaan aku ke kamu”
“Perasaan kamu ke aku? Kenapa Mas?”
“Sya, sebenernya banyak hal yang kamu nggak tahu di 3 tahun ke belakang ini. Sejak pertama kali aku lihat kamu di kampus dan aku nyamperin kamu, itu adalah awal segalanya. Aku dari dulu suka sama kamu. Ternyata setelah deket sama kamu lama-lama jadi sayang dan bahkan aku sayang banget sama kamu. Kamu inget waktu ada Pras dan aku ke rumah kamu? Sebenernya aku cemburu banget Sya. Aku ga suka sama Pras, dan kamu nggak bilang kalo kamu punya pacar. Selama 2 tahun aku nahan rasa sakit aku setiap aku lihat kamu sama Pras. Atau setiap denger kamu cerita tentang Pras, aku sebenernya nahan sakit. Selama ini aku mau berjuang buat kamu Sya. Aku sayang sama kamu Sya. Semoga kamu ngerti apa yang aku sampein ini”
“Hah? Apa Mas? Kamu bercanda kan? Hahahahaha Dimas udah ayo pulang ah jangan bercanda gitu. Masa iya sih kamu naksir aku. Hahaha”
“Sya, plis dengerin aku. Aku serius Sya. Percaya sama aku, kamu anggep perjuangan ku selama ini apa Sya? Bahkan dibanding Pras aku yang lebih sering dan bahkan selalu ada untuk kamu. Tapi kamu nya mungkin ngga pernah sadar, ini aku beneran Sya. Aku jujur dan aku ingin ngutarain perasaan aku selama 3 tahun ini. Aku sayang sama kamu Arsya Paramitha, mau kah kamu jadi pacar aku?”
“Tuhkan Dimas! Makin ngelantur, apa sih ah, udah ayo pulang Dimas, aku kedinginan”
“Oh jadi Cuma gini aja kamu nanggepin aku Sya? Ngga ada kata-kata lain yang lebih pas buat jawab pertanyaan aku? Kamu ngga mikirin perasaan aku 3 tahun ini? Yaudah kalo mau kamu gitu ayo kita pulang”
“Mas jangan narik-narik sih sakit”

Jadi hanya ini jawabannya? Tuhan, kenapa? Terserahlah, aku tak bisa paksakan kemauanku. Aku segera menarik Arsya menuju motor dan menjalankan motorku dengan kencang, Arsya memelukku erat, aku tahu dia ketakutan. Tapi rasa marahku lebih besar daripada rasa khawatirku pada Arsya. Kami tiba di rumah Arsya pukul 9 malam.

“Udah nyampe, masuk sendiri aja saya mau pulang”

**
Reno seorang temanku ternyata sudah menungguku di rumah sejak pukul 8.

“Oy bro darimana aja lo?
“Abis jalanin misi dan gagal Ren. Ah sedih ye gue”
“Bentar, misi apa dulu nih? Nembak si Arsya? Hahahahaha gagal lo? Ditolak? Mampus lo hahaha udah sering gue bilang, udahin. Lo ga pernah nurut ama gue. Udah sini duduk dulu sama gue. Gue udah nungguin lo sejam kampret. Ahahahaha woles Mas”
“Ah anjrit elo Ren sama gue kampret lo ah”

**
2 Minggu berlalu, Aku dan Arsya sudah lose contact sejak kejadian itu. Di kampus, kami tak pernah bertegur sapa. Sekalipun Arsya mengirim sms atau meneleponku pasti aku abaikan. Aku kecewa. Dan akhirnya pilihanku adalah menghentikan perjuanganku. Untuk apa aku bersusah payah 3 tahun ini dan jawabannya hanya seperti itu, tidakkah dia mengindahkan perasaanku? Wajah Arsya memang tampak murung dan merasa bersalah. Terserahlah, aku pun pusing memikirkannya. Biar dia rasakan sendiri dan lihat apa yang akan terjadi nanti.

**

Suatu malam handphoneku bergetar dan ternyata ada sms dari Arsya yang isinya seperti ini,
“Mas mau sampe kapan nyuekin aku kayak gini? Tega Mas nyuekin aku? Mas udahan Mas, aku ga kuat gini terus sama kamu. Aku minta maaf beneran, aku tahu aku salah. Respon aku nggak seharusnya gitu. Maaf aku nggak ngehargain kamu dan aku tahu seperti apa perjuangan kamu untuk aku. Mas aku sadar sekarang, aku yang bodoh nyia-nyiain kamu. Aku tahu harusnya aku milih kamu maaf Mas plis, udahan kita kayak gininya. Aku sekarang udah bener-bener mikir kalo aku juga ternyata sayang sama kamu dan nggak mau jauh dari kamu. Sekarang pergi ke depan rumah kamu dan aku mau minta maaf banget sama kamu”

Apaan sih lagu lama banget, tapi apa bener Arsya ada di luar? Diam-diam aku mengintip dari jendela dan ternyata dia ada di luar, tanpa sadar di luar hujan. Aku turun kebawah dan segera keluar menghampiri Arsya.

“Ngapain kamu kesini? Sok sok dramatis pake ujan-ujanan”
“Mas udah jangan gini terus Mas, aku dateng kesini cuma mau minta maaf karena aku nyesel Mas.”
“Oh Cuma segini aja Sya?
“Mas, aku harus gimana lagi sama kamu Mas? Aku minta maaf. Semua yang aku sms ke kamu ngga pake dusta Mas, aku serius”
“Terserah kamu Sya, aku udah terlanjur kecewa sama kamu”
“Tapi Mas…”
*gubrak*
Arsya pun pingsan di halaman rumahku dengan tubuh yang basah terkena hujan. Kok malah aku yang jadi merasa bersalah? Aku segera membawanya ke dalam rumah dan menyuruh pembantuku mengganti pakaiannya yang basah. Aku menyelimutinya dan menunggu hingga dia bangun. Arsya terbangun dan aku langsung menjelaskan semuanya.

“Udah ya nggak lucu kamu pake hujan-hujanan kayak gitu. Sok drama banget, sekarang liat kan? Kamu jadi tumbang gini kan? Jangan suka bikin khawatir orang, kebiasaan kan kamu tuh”
“Maaf Mas, jangan marah-marah terus”
“Kamu nggak pernah nurut kalo dikasih tau, kamu tuh…..”
*Arsya segera memelukku dan menangis dengan sekencang-kencangnya*
“Dimas udah jangan marah-marah terus, Arsya kan udah minta maaf sama Dimas. Ko Dimas jadi gini sama Arsya. Arsya tahu Arsya salah sama Dimas, Arsya ngerti Arsya udah jahat sama Dimas. Tapi Arsya sayang sama Dimas, Arsya gak mau kehilangan Dimas.”
“Iya maafin aku juga Sya, udah kamu jangan nangis, aku udah maafin kamu ya. Maaf juga aku udah egois. Jadi kamu masih mau jawab pertanyaan aku apa nggak?
“Iya Mas, aku mau jadi pacar kamu dan semuanya udah aku pikirin mateng-mateng, aku mau kamu jadi yang terakhir Mas”
“Makasih Sya”

Aku mencium lagi keningnya Arsya dan dia tenggelam dalam pelukanku, sekarang dia benar-benar menjadi milikku, senyum manisnya, tawa riangnya, celotehannya, teriakannya, dan pelukanku akan selalu jadi miliknya. Aku, aku milikmu Sya. Semoga kamu menjadi pelabuhan terakhirku dan begitu sebaliknya.

No comments:

Post a Comment