Bandung,
14 November 2010
Kepada Wildan,
Hai, sedang apa kamu disana ketika surat ini sampai di
tanganmu? Apakah sedang asyik dengan buku-buku bacaanmu yang sudah setebal batu
bata untuk bangunan itu? Mungkin iya, jika saja kebiasaanmu masih sama. Lebih
suka mengurung diri di kamar dan berkutat dengan novel-novel dan buku tebal,
kamu dan kacamatamu adalah pasangan terbaik di dunia ini, setidaknya begitu
katamu.
Lalu apa hubungannya surat ini dengan kebiasaanmu? Yang aku
tahu memang tidak ada, bahkan surat ini bisa saja kamu anggap tak lebih penting
dibandingkan buku-buku yang harus kamu selesaikan untuk dibaca itu. Petang ini,
ketika aku sedang menulis surat untukmu, sudah hampir 5 tahun semenjak keadaan
memaksa untuk kita tak bersama lagi. Iya, kita yang sudah bersama sedari kecil
bahkan harus terkalahkan oleh takdir. Kita tak lagi bisa bersama hingga kita
tua seperti apa yang selalu kita idam-idamkan dan kita janjikan. Dari kecil kau
selalu menjanjikan dirimu untuk menjadi sahabat terbaikku selamanya, aku takkan
pernah merasa tidak memiliki siapa-siapa karena akan selalu ada engkau,
selamanya. Setidaknya itu katamu, sesaat sebelum takdir benar-benar membawamu
pergi cukup jauh.
Semenjak kamu pergi, tak ku temukan Wildan-Wildan yang lain
yang mampu menggantikan posisimu disini, taman bermain kita sewaktu kecil yang
disediakan oleh ayah dan ibuku memang sudah tak lagi ada, semua anak di
rumah ini sudah tumbuh menjadi dewasa, termasuk aku. Tapi semua kenangan
bersamamu, masih tertanam dengan jelas di ingatanku. Semuanya terekam begitu
jelas, ketika kau menyuruhku menjadi penjaga gawang, padahal jelas disana hanya
akulah satu-satunya anak perempuan dan malah kau suruh aku menjadi penjaga
gawang, padahal aku lebih suka menjadi penjaga hatimu, eh bukan-bukan itu.
Berkali-kali aku menolaknya, bahkan sudah aku marahi kau tapi tetap saja kau
memaksaku, sudah aku katakan aku tak bisa, sampai akhirnya bola yang kau
tendang tepat mengenai wajahku hingga membuatnya memerah. Sakitnya, dan kau
bersama teman-temanmu malah menertawakanku. Aku pulang ke rumah dengan wajah
yang merah sembari menangis, esok harinya aku tak mau bertemu denganmu.
Hahahaha itu lucu sekali, Dan. Aku rindu masa kecil kita yang bodoh.
Dan, aku rindu mengganggumu ketika kau sedang membaca
buku-buku tebalmu itu, aku rindu melihatmu kebingungan mencari kacamatamu yang
aku sembunyikan, aku rindu ketika kau memarahiku karena aku yang terus menerus
mengganggumu ketika membaca, aku rindu kau yang selalu mencubit pipiku karena
gemas, aku rindu kau ada disini berbicara denganku mengenai banyak hal,
semenjak perginya kau, tak ada lagi seseorang yang bisa berbagi cerita denganku
mengenai banyak hal, aku rindu, benar-benar rindu. Kapan kau kembali lagi?
Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu, Wildan. Rindu ini semakin membuatku
gila ketika aku hanya mampu memandangi semua gambar dimana disana kita tertawa
bahagia, Wildan. Tak bisakah kau dengar aku dan kembali lagi bersamaku? Wildan,
tidakkah kau merasa bersalah telah membuatku merindukanmu seperti ini? Tidakkah
kau merasa bahwa kau memiliki tanggung jawab untuk menjadi sahabatku?
Sayangnya, semua itu takkan bisa lagi kembali, karena kau
memang benar-benar pergi, selamanya. Kamu tak pernah bilang bahwa kepergianmu
ke Surabaya adalah untuk menghindar dariku dan tak mau melihatku bersedih
karena mendapatimu yang mengidap penyakit yang cukup parah, kanker darah yang
kau derita ternyata menjadi penyebabmu pergi ke Kota Surabaya dan tak pernah
lagi memberiku kabar, kini, ketika kudapati kabar darimu, kamu memang sudah tak
ada lagi di dunia ini, sudah pergi dan mungkin sekarang kau sudah berbahagia,
Dan.
Seandainya kamu mengatakan padaku, aku takkan apa-apa, Dan.
Aku takkan sampai hati untuk pergi darimu, aku justru akan menjagamu dengan
baik, seandainya kamu mengatakan itu semua sejak dulu mungkin aku takkan merasa
menyesal seperti ini, takkan ada sesak yang tertinggal di dada karena rindu
yang menggunung. Ternyata ada yang lebih sayang padamu dibandingkan aku, Dan.
Iya, tuhan lebih ingin menjagamu dibandingkan aku. Aku rindu kamu, Dan. Disini
tak ada lagi yang seperti kamu, tapi tuhan sayang kamu dan akan menjagamu.
Surat ini memang takkan sampai padamu, tapi aku harap kamu tahu bahwa aku
merindukanmu. Dan, ini sudah larut malam. Aku tak bisa berhenti untuk
mengingatmu. Maafkan, aku hanya belum bisa. Selamat malam, Wildan.
Tertanda sahabatmu,
Winda
No comments:
Post a Comment