Saturday, February 15, 2014

# #30HariMenulisSuratCinta

Untuk sahabatku..

Bandung, 
14 November 2010



Kepada Wildan,

Hai, sedang apa kamu disana ketika surat ini sampai di tanganmu? Apakah sedang asyik dengan buku-buku bacaanmu yang sudah setebal batu bata untuk bangunan itu? Mungkin iya, jika saja kebiasaanmu masih sama. Lebih suka mengurung diri di kamar dan berkutat dengan novel-novel dan buku tebal, kamu dan kacamatamu adalah pasangan terbaik di dunia ini, setidaknya begitu katamu.
Lalu apa hubungannya surat ini dengan kebiasaanmu? Yang aku tahu memang tidak ada, bahkan surat ini bisa saja kamu anggap tak lebih penting dibandingkan buku-buku yang harus kamu selesaikan untuk dibaca itu. Petang ini, ketika aku sedang menulis surat untukmu, sudah hampir 5 tahun semenjak keadaan memaksa untuk kita tak bersama lagi. Iya, kita yang sudah bersama sedari kecil bahkan harus terkalahkan oleh takdir. Kita tak lagi bisa bersama hingga kita tua seperti apa yang selalu kita idam-idamkan dan kita janjikan. Dari kecil kau selalu menjanjikan dirimu untuk menjadi sahabat terbaikku selamanya, aku takkan pernah merasa tidak memiliki siapa-siapa karena akan selalu ada engkau, selamanya. Setidaknya itu katamu, sesaat sebelum takdir benar-benar membawamu pergi cukup jauh. 

Kamu harus tahu, Dan, semenjak perginya kamu bersama keluargamu ke kota Surabaya, tak pernah ada satupun kabar yang datang darimu, ataupun keluargamu. Setidaknya, sebagai seseorang yang kamu anggap sahabat, kamu perlu tahu disini aku selalu menunggumu kembali. Aku akan menerima segala alasan hilangnya dirimu, asalkan kamu bawa kembali semua janji yang pernah kamu ucapkan, Dan.

Semenjak kamu pergi, tak ku temukan Wildan-Wildan yang lain yang mampu menggantikan posisimu disini, taman bermain kita sewaktu kecil yang disediakan oleh ayah dan ibuku memang sudah tak lagi ada,  semua anak di rumah ini sudah tumbuh menjadi dewasa, termasuk aku. Tapi semua kenangan bersamamu, masih tertanam dengan jelas di ingatanku. Semuanya terekam begitu jelas, ketika kau menyuruhku menjadi penjaga gawang, padahal jelas disana hanya akulah satu-satunya anak perempuan dan malah kau suruh aku menjadi penjaga gawang, padahal aku lebih suka menjadi penjaga hatimu, eh bukan-bukan itu. Berkali-kali aku menolaknya, bahkan sudah aku marahi kau tapi tetap saja kau memaksaku, sudah aku katakan aku tak bisa, sampai akhirnya bola yang kau tendang tepat mengenai wajahku hingga membuatnya memerah. Sakitnya, dan kau bersama teman-temanmu malah menertawakanku. Aku pulang ke rumah dengan wajah yang merah sembari menangis, esok harinya aku tak mau bertemu denganmu. Hahahaha itu lucu sekali, Dan. Aku rindu masa kecil kita yang bodoh.

Lalu, kau ingat? Sebagai orang yang tak mau kalah, aku harus membalas perlakuanmu dengan mengajakku di permainanmu. Ketika aku sedang bermain dengan Sasha dan Reska, aku memaksamu untuk bergabung. Kami bertiga mendandanimu den memakaikanmu make-up tidak karuan, hahahahaha. Wajahmu saat itu lebih mirip badut di pasar malam, dengan dress kesempitan yang kami paksakan untuk kau gunakan, Dan. Kita memang sangat bodoh.

Dan, aku rindu mengganggumu ketika kau sedang membaca buku-buku tebalmu itu, aku rindu melihatmu kebingungan mencari kacamatamu yang aku sembunyikan, aku rindu ketika kau memarahiku karena aku yang terus menerus mengganggumu ketika membaca, aku rindu kau yang selalu mencubit pipiku karena gemas, aku rindu kau ada disini berbicara denganku mengenai banyak hal, semenjak perginya kau, tak ada lagi seseorang yang bisa berbagi cerita denganku mengenai banyak hal, aku rindu, benar-benar rindu. Kapan kau kembali lagi? Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu, Wildan. Rindu ini semakin membuatku gila ketika aku hanya mampu memandangi semua gambar dimana disana kita tertawa bahagia, Wildan. Tak bisakah kau dengar aku dan kembali lagi bersamaku? Wildan, tidakkah kau merasa bersalah telah membuatku merindukanmu seperti ini? Tidakkah kau merasa bahwa kau memiliki tanggung jawab untuk menjadi sahabatku?

Sayangnya, semua itu takkan bisa lagi kembali, karena kau memang benar-benar pergi, selamanya. Kamu tak pernah bilang bahwa kepergianmu ke Surabaya adalah untuk menghindar dariku dan tak mau melihatku bersedih karena mendapatimu yang mengidap penyakit yang cukup parah, kanker darah yang kau derita ternyata menjadi penyebabmu pergi ke Kota Surabaya dan tak pernah lagi memberiku kabar, kini, ketika kudapati kabar darimu, kamu memang sudah tak ada lagi di dunia ini, sudah pergi dan mungkin sekarang kau sudah berbahagia, Dan.

Seandainya kamu mengatakan padaku, aku takkan apa-apa, Dan. Aku takkan sampai hati untuk pergi darimu, aku justru akan menjagamu dengan baik, seandainya kamu mengatakan itu semua sejak dulu mungkin aku takkan merasa menyesal seperti ini, takkan ada sesak yang tertinggal di dada karena rindu yang menggunung. Ternyata ada yang lebih sayang padamu dibandingkan aku, Dan. Iya, tuhan lebih ingin menjagamu dibandingkan aku. Aku rindu kamu, Dan. Disini tak ada lagi yang seperti kamu, tapi tuhan sayang kamu dan akan menjagamu. Surat ini memang takkan sampai padamu, tapi aku harap kamu tahu bahwa aku merindukanmu. Dan, ini sudah larut malam. Aku tak bisa berhenti untuk mengingatmu. Maafkan, aku hanya belum bisa. Selamat malam, Wildan.



Tertanda sahabatmu,




Winda

No comments:

Post a Comment