Monday, February 3, 2014

# #30HariMenulisSuratCinta

Satu surat lagi untuk kamu.


Kepada kamu,

Hai, selamat siang, jika di tempatmu masih siang aku harap kamu tidak lupa untuk makan siang. Jadi, masih bolehkah aku menanyakan bagaimana kabarmu? Setidaknya setelah bertahun-tahun lamanya kita tak pernah bertatap muka, mungkin aku boleh mengetahui bagimana keadaanmu sekarang? Jadi, bagaimana? Masih ingat denganku? Jika ada sebuah pertanyaan yang diberikan kepadaku, yang menanyakan siapakah aku ini? Mungkin hanya akan mampu aku jawab, ini adalah aku yang lupa bagaimana caranya agar tidak jatuh cinta padamu (lagi). Iya, mungkin seperti itu.

Entah siapa yang membuatku amnesia akan hal ini, bagaimana agar tidak lagi mencintaimu seolah tak pernah ada di kepalaku ini. Seolah yang aku tahu hanyalah bagaimana untuk tetap mencintaimu, tanpa menghilangkannya. Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Apakah itu semua sengaja aku lakukan? Entahlah, aku pun tak mengerti.

Aku masih tetap berjalan mencari jawaban tentang itu semua, tentang bagaimana agar tidak jatuh cinta padamu lagi. Apakah dengan tidak menemuimu lagi? Apakah dengan tidak menghubungimu lagi? Apakah dengan tidak berbicara denganmu lagi? Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu pernah mengingat satu hal yang jelas-jelas pernah aku katakan padamu, agar kamu tak pernah pergi. Sebuah permintaan sederhana yang terlalu sulit untuk kamu wujudkan dan sangat mudah untuk kamu abaikan. Terlalu mudah mungkin sampai-sampai kau tak pedulikan lagi apa yang kelak akan terjadi.

Ketika kamu dengan giatnya mengabaikanku, sedangkan aku yang dengan giatnya mengaharapkanmu baik-baik saja tanpa kurang apapun. Cukup dengan mengetahui bahwa kamu disana tidak kurang apapun dan melihatmu bahagia, mungkin bahagiaku terletak disana, masih kau bawa. Pernah suatu saat di beberapa tahun yang lalu, ketika kita masih bersama, kamu pernah menghilang dalam waktu yang cukup lama, kecemasan menghampiriku dan entah apa yang membuat seluruh ruangan terasa begitu sepi saat aku dengan yakin saat itu sedang memutar lagu dengan volume tinggi. Gemetar, dan seolah sesak untuk bernapas, mungkin oksigen di ruangan tempatku berada seketika menghilang saat pikirku melayang padamu. Segala khawatirku, kecemasanku, adalah karena rasa rindu. Rindu yang menghinggapiku sungguh lah tidak wajar, ah mana ada rindu yang wajar. Jika saja rindu yang datang semuanya bersifat wajar, tak akan ada rindu yang salah, tak akan ada rindu yang tidak mendapatkan balasan. Tidak akan.

Bahwa mungkin sebuah kekhawatiran adalah hasil dari rasa rindu yang berlebih, dan sesungguhnya rasa rindu membutuhkan sebuah pertemuan yang akan memberikan rasa lega dan bahagia. Ketika sebuah pertemuan membuat yakin bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan, rasa rindu melebur, hanya itulah yang dibutuhkan oleh rasa rindu.. Dia hanya membutuhkan pertemuan, yang mampu melegakan dan menghilangkan segala keresahan hati. Selalu. Dibalik ini semua, rasa rinduku tak bersalah atas apa-apa, hanya aku yang bersalah, karena menjatuhkannya pada orang yang tidak tepat. Tapi bukan itu semua yang selama ini aku inginkan, yang aku inginkan hanyalah selalu bisa bertemu denganmu dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja, namun untuk saat ini semua itu bukan lagi hal yang benar untuk aku lakukan. Diriku saja sudah bukan menjadi prioritas dalam hidupmu, benar begitu, bukan?

Aku yang tidak ingat bagaimanakah teori yang menyebabkan aku mencintaimu dengan seperti ini, hanya mampu mengingat dengan jelas bagaimana merindukanmu dan bagaimana tetap mencintaimu. Ternyata hal ini masih menjadi hal yang menyenangkan dan belum menjadi sesuatu membosankan, sekalipun seringnya kamu abaikan dan mungkin ini bukan hal yang benar tetapi ada satu hal yang tak tampak dan tak nyata yang membuatku tetap mau melakukannya. Jika ini adalah sebuah kesalahan, mungkin seharusnya aku sudah menyesal.

Sesungguhnya kamu sendiri pernah meminta aku untuk pergi dan begitu pun sebaliknya, aku pun pernah meminta kamu untuk pergi. Untuk apapun alasannya, kita hanya amsih berdiam diri di tempat masing-masing, mungkin posisimu selangkah di depanku. Itu karena memang kamu, kamu yang sudah dengan bahagianya pergi dan menikmati hidup dengan mengabaikan aku.

Jadi siapakah aku ini? Aku…. Aku yang masih memikirkan bagaimana menghentikan ini semua dan mencoba membahagiakan diri sendiri dengan tidak berpaku tangan padamu lagi. Tolong, dengan hormat dan permintaan yang teramat, jika kau benar-benar ingin pergi, lekaslah pergi, jika kau ingin tinggal, katakanlah.

Terimakasih.

Tertanda, aku. Yang katanya lupa bagaimana untuk tidak mencintaimu lagi.

No comments:

Post a Comment