Kamu lah yang dulu
pernah mengajariku untuk tidak menjadi orang yang pendendam, kamu yang
mengajariku bagaimana caranya untuk dengan ikhlas memaafkan orang lain, kamu
akan memberitahuku ketika aku salah telah menaruh dendam pada orang lain, tapi
kini ternyata kamu lah yang menjadi objek rasa dendamku karena kamu sendiri
tentunya. Bukan dendam mungkin, hanya saja sesekali aku menaruh amarah berlebih
padamu dan segala yang pernah kamu lakukan. Lantas aku bisa apa?
Rasa ini mungkin timbul
karena keslahanmu sendiri juga segala presepsi dan asumsiku padamu yang timbul
karena segala hal yang terjadi seiring berjalannya waktu. Waktu yang telah
membentuk pola pikirku sehingga menjadi sedemikian rupa.. Juga waktu lah yang
telah membentuk perilakumu dan juga pola pikirmu yang tak lagi sama ketika bwbweapa tahun lalu. Entah apa yang diperbuat oleh waktu beserta seluruh
isinya, lingkungan di sekitarmu, orang terdekatmu, seluruh semesta yang
menjadikanmu seperti ini bukan?
Jika aku rasa tak
banyak yang berubah dariku atas segala perilakumu, tapi kamu… Seperti bukan orang
yang aku kenal selama ini. Berbeda, semuanya berbeda. Lantas aku bisa apa
jika ternyata kamu yang dulu sering kali menegurku untuk tidak meluapkan amarah,
menaruh dendam, merasa benci ataupun menaruh rasa kesal terhadap orang lain,
ternyata kini kamu sendiri yang membuatnya membalik, membuat seolah-olah aku
dan kamu melumat sendiri semua kata-kata yang pernah dilontarkan. Seolah tak
mampu lagi diri ini untuk membendung segala rasa itu. Apa benar kesabaran
seorang manusia tak ada takarannya? Tak ada kadarnya? Tak terbatas?
Karena tetap saja, pada
akhirnya segala hal itu akan kembali berujung pada kata-kata. Kata-kata yang
tersusun rapi dan entah akan sampai pada tujuannya atau tidak, sebagian mungkin
hanya akan tersimpan rapi seperti sebuah benda dalam lemari, atau mungkin hanya
sebagian kecil yang akan sampai pada tujuannya. Seringkali segala hal yang menjadi
sumber dari segala kekesalanmu hanya mampu membuatmu diam tak berkata-kata,
bahkan jika kamu diberi kesempatan untuk berkata-kata pun, kamu akan bingung
untuk memulainya dari mana. Ketika kamu tak tahu harus berbuat apa, kamu
mungkin hanya bisa mencurahkannya melalui kata-kata yang akan sampai pada objek
atau tidak, itu adalah urusan belakangan.
Sekali pun aku
merasakan amarah yang meluap-luap dan kebencian yang sekali-kali datang,
kembali kata-kata mu juga yang menjadi pengingatku akan itu semua, aku redam
kembali semuanya, dan jika aku tak mengingatnya, hal itu kemudian hilang dari
pikiranku, setidaknya jika tak ada orang yang usil mengingatkanku kembali akan hal apa yang membuatku merasa marah dan kesal.
Seringnya kembali aku
meredam amarah dan melupakannya, seolah tak ada apa-apa dan semuanya berjalan
kembali dengan baik-baik saja. Namun ketika kembali rasa itu datang, ketika aku
ingat kamu yang membuatku merasa marah dan kesal, seketika jika kamu ada di
hadapanku mungkin ingin aku cekik saja.. Ah fantasi yang keterlaluan. Lantas
apa yang harus aku perbuat? Memaafkan?
Apakah mungkin pada
hakikatnya memang manusia harus selalu memaafkan dan melupakan?
Apakah itu?
Kemudian ketika tanyaku
belum habis, segala jawabannya memang hanya satu, yaitu harus. Sebuah keharusan
untuk memaafkan dan juga mungkin melupakan. Itu satu-satunya jalan agar hidup
kamu terasa tenang. Iya, hatimu tidak akan dipenuhi hal-hal yang tidak baik
yang mungkin menjadikanmu memiliki penyakit hati. Semua pilihan kembali lagi
padamu. Lantas jika aku harus menjawab pertanyaanku sendiri adalah…
Lantas aku bisa apa?
Aku bisa memaafkan dan melupakannya, lalu berjalan masing-masing seolah tak
pernah terjadi apa-apa. Itu jika aku mau hidupku terasa baik-baik saja, tenang
dan menyenangkan. Walaupun sesekali hidup ini perlu hal-hal yang tidak
menyenangkan untuk ikut melengkapinya, namun jika bisa kita buat menyenangkan,
mengapa tidak? Segala yang terjadi pada hidupmu adalah atas keputusanmu
sendiri. Jadi, selamat menentukan jalan hidupmu masing-masing, karena hal baik
tidak akan mencarimu dan tidak akan membuat dirinya sendiri bagimu, tetapi kamu
lah yang harus mencarinya sendiri dan membuat kebahagiaan itu sesuai dengan
takaran yang pas mengenai bagaimana bahagia itu sendiri dalam hidup kamu.
Tentang segala rasa benci dan amarah yang ada, biarkan dia pergi, menguap ke
langit dan turun menjadi hujan yang bisa menyejukkan. Kelak dia akan hilang
dengan sendirinya. Buatlah hidupmu sebahagia mungkin, dengan caramu, bukan
dengan cara orang lain.
No comments:
Post a Comment