Siang
itu cuaca sangat panas, sama seperti suasana di ruangan rapat ini. Semua orang
berlomba untuk menyampaikan aspirasi mereka, mereka saling mengeraskan suara
mereka. Mahasiswa-mahasiswa yang sebagian besar mengaku diri mereka aktivis ini
terkadang egois karena mementingkan isi kepala mereka yang harus diterima oleh
banyak orang. Aku adalah tipikal orang yang senang berorganisasi, oleh karena
itu aku memutuskan untuk mengikuti Badan Eksekutif Mahasiswa di Fakultasku.
Organisasi membuatku tahu bagaimana cara membagi tugas dengan baik, menyusun
rencana sesuai dengan tujuan dan mewadahi aspirasi juga menyatukan visi dan
misi yang sama.
Aku
menghela napas, suasana ruangan rapat ini terasa lebih panas. Entah pendingin
ruangan tidak bekerja dengan baik, atau bahasan yang akan kami bicarakan
membuatku merasa memiliki tanggung jawab yang besar. Pembicaraan berlangsung
alot, dan terkesan bertele-tele karena yang mereka perdebatkan dari awal rapat
adalah hal itu-itu saja, mengenai program yang akan kita kerjakan pada bulan
Ramadhan nanti. Bakti sosial pada anak-anak jalanan, juga anak-anak yatim di
panti asuhan dekat kampus yang kebetulan kurang mendapat perhatian dari
khalayak. Masalah kami adalah bagimana perencanaan agar bakti sosial ini
menghasilkan dana yang banyak untuk di sumbangkan. Sejauh ini, selama satu
minggu kami sudah membuat stand di
kampus dan juga berkeliling kampus barangkali ada yang mau ikut menyumbang
untuk acara ini.
Namun,
semenjak awal aku memilih untuk bergabung di BEM ini, ada satu hal yang
terkadang membuatku merasa malas untuk hadir. Salah satu anggota BEM bernama Luthfi itu adalah orang paling menyebalkan di seantero kampus ini, apalagi di
BEM. Dia selalu merasa bahwa dia lah yang harus di dengar oleh semuanya, semua
ide dan pendapatnya harus diterima oleh setiap orang, namun tidak dengan aku
yaitu satu-satunya orang di BEM yang tak pernah mengiyakan apa yang dia
katakan. Baiklah, aku akui dia memang pandai dalam bermusik, beberapa alat
musik dia kuasai, seperti gitar, bass,
keyboard dan saxophone. Selera
musik dia pun bisa dibilang bagus, beberapa yang sering dia dengarkan adalah
kesukaanku, tak bisa aku pungkiri ada satu sisi darinya yang membuatku kagum.
“Kalau
,meurutku sih, kita lihat apa saja yang lagi diminati anak muda saat ini. Mungkin
semacam konser bersama band-band indie ternama di kota ini, seperti membuat
konser charity dan kita pun harus
tahu band-band atau pemusik yang lagi diminati sama anak muda zaman sekarang.
Disana kita bisa buka bazzar misalnya
kita jual makanan atau baju bekas, kita menargetkan orang-orang mau hadir
karena tertarik dengan adanya band kesukaan mereka dan faktor kekaguman
biasanya akan membuat fans nya melakukan apa yang diperintahkan secara langsung
atau tidak langsung, bisa saja mereka merasa seolah terpanggil sebagai fans nya.”
“Itu
sih pikiran lo aja, Fa. Yakali semuanya bakal mau nyumbang, gimana kalau nanti
yang ada bukannya orang-orang malah nyumbang. Kita nggak dapet apa-apa, rugi
iya. Paling ujung-ujungnya yang dateng Cuma anak-anak gaul yang sekedar mau
ngopi di café sembari nonton
musikdoang dan kemudian melupakan sisi sosial dari acara ini. Pada akhirnya
kita nggak dapat apa-apa.”
“Kalo
menurut gue sih oke-oke aja tuh ide dari Alifa. Konser amal bisa narik
perhatian banyak orang, dengan guest starnya
yang keren. Kenapa enggak? Kita bisa usaha dulu untuk nyoba itu, toh minat
orang dan kemauan setiap orang itu beda-beda dan kita nggak tahu. Oleh karena
itu, kita harus survey..”
“Gue
sih pengen yang simple-simple aja,
kayak ngamen aja setiap malem ngumpulin duit apa ngedanus gitu jualan makanan
di kampus. Kan kita udah buka stand juga, itu udah lumayan nambah pemasukan
kita. Setiap hari selalu aja ada yang nyumbang kan? ”
“Yeeeee,
ndu! Itu sih bukan program yang wow, itu emang udah kewajiban kita, itu sih
emang kewajiban untuk kejar target dana seriap minggunya. Terus ide lo apa
setelah lo nolak ide Alifa?”
“Yaudah
deh, terserah lo pade. Gue ngikut aje, males mikir gue. Apa kata lo semua deh.”
Menyebalkan,
setelah mengeluarkan kata-kata tidak menyenangkan itu dia malah pergi
meninggalkan ruang rapat entah kemana. Tak ada satu pun yang berusaha
mencegahnya, untuk kali ini aku merasa bahagia karena ide ku diterima dengan
baik oleh semuanya.
Hari
selanjutnya setelah rapat yang berisi sedikit kekacauan itu, kami merencanakan
untuk bergabung bersama komunitas yang memang bergerak untuk anak-anak jalanan
dan mendidik mereka seperti memberikan pelajaran formal maupun non-formal. Tugasku
bersama Luthfi, memberikan proposal untuk mengajak mereka bekerjasama dalam
program kami. Tapi tidak semudah itu untuk mengetahui bagaimana komunitas ini
berjalan, seperti apa mereka berkegiatan dan lainnya, untuk itu aku dan Luthfi harus mengikuti beberapa kegiatan yang dilakukan oleh komunitas itu selama beberapa
hari ke depan.
Hari
pertama aku dan Luthfi bergabung bersama komunitas ini, sejak pagi aku sudah
bersama Luthfi, kami memerintahkan beberapa orang untuk menggantikan beberapa
pekerjaan kami berdua yang harus diselesaikan di kampus. Aku harus menjalani
beberapa hari ke depan bersama manusia menyebalkan ini, dan sekarang aku harus
pergi ke lokasi menggunakan sepeda motor bersamanya karena lokasi yang akan
dikunjungi cukup sulit di akses oleh kendaraan umum seperti angkot atau bus. Kami
segera menuju ke lokasi dimana komunitas ini berkumpul, mereka mendirikan
sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan belajar, yang mengajarinya adalah anggota-anggotanya
atau sesekali mereka mengajak seorang pengajar ahli. Aku yang sibuk mengamati
dan ingin ikut bergabung untuk mengajar ternyata diperbolehkan oleh mereka
semuanya, sementara Luthfi yang begitu acuh hanya diam saja dengan headset yang tersambung ke ipod
nya. Hari pertama bergabung bersama komunitas ini, aku senang bisa melihat tawa bahagia dari
anak-anak jalanan itu, berbagi pengetahuan yang aku tahu pada mereka, entah itu
pengetahuan formal ataupun non-formal, aku mengajarkan mereka melipat origami, menggambar
dan lainnya. Semua anggota komunitas pun menerima aku dengan baik, kami berbagi
banyak pengalaman mengenai kehidupan. Mereka bercerita bagaimana
menyenangkannya ada disini, membahagiakan orang lain dengan cara seperti ini.
Sedangkan Luthfi entahlah, raut mukanya tampak biasa saja tanpa ekspresi,
seperti tak menyukai hal ini.
Di
hari kedua, Luthfi tampak berbeda dari biasanya, dia membawa gitarnya ikut
serta, dan aku tak tahu apa tujuannya membawa gitar itu. Sesampainya di rumah
singgah, ternyata Luthfi menunjukkan keahlianya di hadapan anak-anak itu. Dia
bernyanyi dan bermain gitar bersama anak-anak di rumah singgah, mereka semua
tampak bahagia bernyanyi bersama Luthfi Tak aku lihat raut muka Luthfi yang
seperti biasanya, jutek, acuh, menyebalkan, itu semua tak tampak saat dia
bernyanyi bersama anak-anak itu. Aku memperhatikannya dari jauh dan
memandanginya dengan tersenyum. Aku kira dia hanya memiliki sisi jahat dalam
hidupnya, itulah mengapa jangan pernah melihat orang dari luarnya saja.
Seselesainya kegiatan hari ini, tak aku duga bahwa Luthfi membelokkan motornya
ke sebuah café yang terkenal di kota
ini. Sejak SMA aku sering datang kemari bersama teman-teman untuk sekedar
membeli segelas milkshake atau capuccino namun menghabiskan waktu berjam-jam disana
untuk mengobrol dan tertawa terbahak-bahak menertawakan hal tidak penting. Tanpa
aku duga dia mengajakku makan malam di tempat ini dengan iming-iming dia yang
akan membayariku makan, 10 menit setelah memesan makanan kami masih saling
diam, sampai akhirnya Luthfi lah yang memulai permbicaraan, dia bertanya untuk apa
aku mau bergabung di BEM, kami bertukar cerita mengenai kehidupan sehari-hari,
keluarga, hobi, dan lainnya. Sampai akhirnya makanan kami tiba, kami
menghabiskannya dan lalu pergi pulang tepat pukul 11 malam.
Hari
ketiga, kami melakukan sebuah permainan bersama anak-anak ini. Khusus untuk
kali ini mereka melakukan permainan-permainan tradisional seperti bermain
Galasin, petak umpet dan bermain gasing. Aku dan Luthfi turut bersama mereka
tanpa ingat bahwa kami adalah seorang mahasiswa tingkat tiga di kampus, tak
peduli dengan status itu, kami ikut bersenang-senang bersama mereka. Untuk
pertama kalinya, aku dan Luthfi bisa tertawa lepas berdua. Hari ini selesai
begitu melelahkan, kian berlari kesana-kemari dan tertawa. Selesai sudah
rangkaian kegiatan hari ini, aku dan Luthfi pamitan pada semua anggota yang ada
disana dan berterimakasih banyak atas kesediaan mereka mengizinkan kami untuk bergabung
bersama mereka selama tiga hari ini, sebelum akhirnya mereka akan bekerja sama
dengan kami pada event kami di bulan Ramadhan. Kembali bersama Luthfi ketika
hari H tiba, ini sudah memasuki hari ke 10 di bulan Ramadhan, jauh hari telah
kami siapkan konser charity ini, guest star sudah di siapkan, bazzar dalam rangka bakti sosial pun
sudah tersaji secara rapi. Konser charity
ini akan berlangsung selama 5 jam, lengkap dengan sajian buka bersama yang
sudah disiapkan bagi semua yang hadir disini termasuk para anak-anak jalanan
dan anak yatim yang sudah diundang pada event
kami ini. Yang terpenting dari konser ini adalah hasil yang kami dapatkan
adalah seluruhnya untuk para anak-anak tersebut. Sebelum acara dimulai
orang-orang tampak sudah memenuhi venue dan
ini adalah kebahagiaan yang harus kami semua syukuri. Ideku ini, berbuah manis,
sekarang aku dan yang lain hanya perlu bekerja pada tahap akhir sebagai panitia
dari acara ini dan menikmati hasil yang kami peroleh. Senyum manis dari setiap
orang yang berpartisipasi dalam acara ini adalah hal terindah bagiku.
Tanpa
terasa Adzan Maghrib sudah berkumandang, aku yang sibuk mengurus acara ini
sedari awal mulai, memastikan agar semuanya mendapatkan makanan sesuai porsinya.
Untukku sendiri itu urusan belakangan. Aku duduk sendiri tepat di dekat pintu
keluar, dan tanpa sadar ada seseorang yang menghampiriku sembari membawkanku
makanan. Ternyata, itu Luthfi tersenyum manis sembari memberikan aku makanan. “Makan,
kamu seharian ini capek dan perut kamu kosong” ucap Luthfi Tak salah dengarkah
aku ini? Ternyata tuhan memberikan sebuah kejutan di akhir dari segala
perjuangan yang dilakukan berminggu-minggu ini, acara berjalan lancar dan
semesta berhasil merubah Luthfi enjadi manusia yang akhirnya dapat dilelehkan
perasaanya, Tuhan lah yang ahli membolak-balikkan perasaan.
“Oh
iya, Fa. Gue mau bilang makasih banyak sama lo buat beberapa minggu yang gue
lewatin bareng sama lo. Konyol sih gue ngomong kayak gini, sebelumnya gue belum
pernah ngomong kayak gini ke cewek mana pun. Elo yang awalnya sering bikin gue
keki ternyata bisa jadi partnery ang asik. Lo ternyata nyenengin juga. Bareng
sama lo nggak seburuk yang gue kira. Makasih ya, Fa”
“Sama-sama,
Ndu. Aku kira kamu nggak akan berubah seperti ini. Aku kira kamu Cuma punya
sisi jahat doang. Hahahaha terimakasih juga sudah mau jadi partner aku. Jangan
bosan ya.”
“Nggaklah,
gue akhirnya dapet pelajaran hidup yang nggak gue dapetin di sekolah mana pun,
bareng sama lo terjun ke anak-anak jalanan itu. Nggak akan bosen kok, kalo bisa
sih jadi partner idup gue aja sekalian. Hahahahaha”
Candaan Luthfi berhasil mendinginkan suasana diantara kami yang selama ini begitu
panasnya, saat ini nyaris tak ada kecanggungan antara kami. Kami melanjutkan
untuk menghabiskan santapan kami sembari mengobrol hingga acara selesai.
Ternyata semua yang kami lakukan ini ada makna yang berharga yang bisa kami
dapat. Aku mendapatkan pengalaman hidup yang berarti yang tak akau dapatkan
dari sekolah mana pun seperti kata Luthfi. Terimakasih, Luthfi.
ps : - cerpen ini di bukukan dalam proyek menulis-nya sel publishing, nulis buku di buku yang ke-11, hehehe kalo ga percaya boleh cek TKP :))
- judul di atas dibantu oleh sahabat saya, Antoni Gunawan :))
No comments:
Post a Comment