Tuesday, September 17, 2013

# Menulis

Berbagi Senyuman Shaum

Siang itu cuaca sangat panas, sama seperti suasana di ruangan rapat ini. Semua orang berlomba untuk menyampaikan aspirasi mereka, mereka saling mengeraskan suara mereka. Mahasiswa-mahasiswa yang sebagian besar mengaku diri mereka aktivis ini terkadang egois karena mementingkan isi kepala mereka yang harus diterima oleh banyak orang. Aku adalah tipikal orang yang senang berorganisasi, oleh karena itu aku memutuskan untuk mengikuti Badan Eksekutif Mahasiswa di Fakultasku. Organisasi membuatku tahu bagaimana cara membagi tugas dengan baik, menyusun rencana sesuai dengan tujuan dan mewadahi aspirasi juga menyatukan visi dan misi yang sama.
Aku menghela napas, suasana ruangan rapat ini terasa lebih panas. Entah pendingin ruangan tidak bekerja dengan baik, atau bahasan yang akan kami bicarakan membuatku merasa memiliki tanggung jawab yang besar. Pembicaraan berlangsung alot, dan terkesan bertele-tele karena yang mereka perdebatkan dari awal rapat adalah hal itu-itu saja, mengenai program yang akan kita kerjakan pada bulan Ramadhan nanti. Bakti sosial pada anak-anak jalanan, juga anak-anak yatim di panti asuhan dekat kampus yang kebetulan kurang mendapat perhatian dari khalayak. Masalah kami adalah bagimana perencanaan agar bakti sosial ini menghasilkan dana yang banyak untuk di sumbangkan. Sejauh ini, selama satu minggu kami sudah membuat stand di kampus dan juga berkeliling kampus barangkali ada yang mau ikut menyumbang untuk acara ini.
Namun, semenjak awal aku memilih untuk bergabung di BEM ini, ada satu hal yang terkadang membuatku merasa malas untuk hadir. Salah satu anggota BEM bernama Luthfi itu adalah orang paling menyebalkan di seantero kampus ini, apalagi di BEM. Dia selalu merasa bahwa dia lah yang harus di dengar oleh semuanya, semua ide dan pendapatnya harus diterima oleh setiap orang, namun tidak dengan aku yaitu satu-satunya orang di BEM yang tak pernah mengiyakan apa yang dia katakan. Baiklah, aku akui dia memang pandai dalam bermusik, beberapa alat musik dia kuasai, seperti gitar, bass, keyboard dan saxophone. Selera musik dia pun bisa dibilang bagus, beberapa yang sering dia dengarkan adalah kesukaanku, tak bisa aku pungkiri ada satu sisi darinya yang membuatku kagum.
“Kalau ,meurutku sih, kita lihat apa saja yang lagi diminati anak muda saat ini. Mungkin semacam konser bersama band-band indie ternama di kota ini, seperti membuat konser charity dan kita pun harus tahu band-band atau pemusik yang lagi diminati sama anak muda zaman sekarang. Disana kita bisa buka bazzar misalnya kita jual makanan atau baju bekas, kita menargetkan orang-orang mau hadir karena tertarik dengan adanya band kesukaan mereka dan faktor kekaguman biasanya akan membuat fans nya melakukan apa yang diperintahkan secara langsung atau tidak langsung, bisa saja mereka merasa seolah terpanggil sebagai fans nya.”
“Itu sih pikiran lo aja, Fa. Yakali semuanya bakal mau nyumbang, gimana kalau nanti yang ada bukannya orang-orang malah nyumbang. Kita nggak dapet apa-apa, rugi iya. Paling ujung-ujungnya yang dateng Cuma anak-anak gaul yang sekedar mau ngopi di cafĂ© sembari nonton musikdoang dan kemudian melupakan sisi sosial dari acara ini. Pada akhirnya kita nggak dapat apa-apa.”
“Kalo menurut gue sih oke-oke aja tuh ide dari Alifa. Konser amal bisa narik perhatian banyak orang, dengan guest starnya yang keren. Kenapa enggak? Kita bisa usaha dulu untuk nyoba itu, toh minat orang dan kemauan setiap orang itu beda-beda dan kita nggak tahu. Oleh karena itu, kita harus survey..”
“Gue sih pengen yang simple-simple aja, kayak ngamen aja setiap malem ngumpulin duit apa ngedanus gitu jualan makanan di kampus. Kan kita udah buka stand juga, itu udah lumayan nambah pemasukan kita. Setiap hari selalu aja ada yang nyumbang kan? ”
“Yeeeee, ndu! Itu sih bukan program yang wow, itu emang udah kewajiban kita, itu sih emang kewajiban untuk kejar target dana seriap minggunya. Terus ide lo apa setelah lo nolak ide Alifa?”
“Yaudah deh, terserah lo pade. Gue ngikut aje, males mikir gue. Apa kata lo semua deh.”
Menyebalkan, setelah mengeluarkan kata-kata tidak menyenangkan itu dia malah pergi meninggalkan ruang rapat entah kemana. Tak ada satu pun yang berusaha mencegahnya, untuk kali ini aku merasa bahagia karena ide ku diterima dengan baik oleh semuanya.
Hari selanjutnya setelah rapat yang berisi sedikit kekacauan itu, kami merencanakan untuk bergabung bersama komunitas yang memang bergerak untuk anak-anak jalanan dan mendidik mereka seperti memberikan pelajaran formal maupun non-formal. Tugasku bersama Luthfi, memberikan proposal untuk mengajak mereka bekerjasama dalam program kami. Tapi tidak semudah itu untuk mengetahui bagaimana komunitas ini berjalan, seperti apa mereka berkegiatan dan lainnya, untuk itu aku dan Luthfi harus mengikuti beberapa kegiatan yang dilakukan oleh komunitas itu selama beberapa hari ke depan.
Hari pertama aku dan Luthfi bergabung bersama komunitas ini, sejak pagi aku sudah bersama Luthfi, kami memerintahkan beberapa orang untuk menggantikan beberapa pekerjaan kami berdua yang harus diselesaikan di kampus. Aku harus menjalani beberapa hari ke depan bersama manusia menyebalkan ini, dan sekarang aku harus pergi ke lokasi menggunakan sepeda motor bersamanya karena lokasi yang akan dikunjungi cukup sulit di akses oleh kendaraan umum seperti angkot atau bus. Kami segera menuju ke lokasi dimana komunitas ini berkumpul, mereka mendirikan sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan belajar, yang mengajarinya adalah anggota-anggotanya atau sesekali mereka mengajak seorang pengajar ahli. Aku yang sibuk mengamati dan ingin ikut bergabung untuk mengajar ternyata diperbolehkan oleh mereka semuanya, sementara Luthfi yang begitu acuh hanya diam saja dengan headset yang tersambung  ke ipod nya. Hari pertama bergabung bersama komunitas ini, aku  senang bisa melihat tawa bahagia dari anak-anak jalanan itu, berbagi pengetahuan yang aku tahu pada mereka, entah itu pengetahuan formal ataupun non-formal, aku mengajarkan mereka melipat origami, menggambar dan lainnya. Semua anggota komunitas pun menerima aku dengan baik, kami berbagi banyak pengalaman mengenai kehidupan. Mereka bercerita bagaimana menyenangkannya ada disini, membahagiakan orang lain dengan cara seperti ini. Sedangkan Luthfi  entahlah, raut mukanya tampak biasa saja tanpa ekspresi, seperti tak menyukai hal ini.
Di hari kedua, Luthfi tampak berbeda dari biasanya, dia membawa gitarnya ikut serta, dan aku tak tahu apa tujuannya membawa gitar itu. Sesampainya di rumah singgah, ternyata Luthfi menunjukkan keahlianya di hadapan anak-anak itu. Dia bernyanyi dan bermain gitar bersama anak-anak di rumah singgah, mereka semua tampak bahagia bernyanyi bersama Luthfi  Tak aku lihat raut muka Luthfi yang seperti biasanya, jutek, acuh, menyebalkan, itu semua tak tampak saat dia bernyanyi bersama anak-anak itu. Aku memperhatikannya dari jauh dan memandanginya dengan tersenyum. Aku kira dia hanya memiliki sisi jahat dalam hidupnya, itulah mengapa jangan pernah melihat orang dari luarnya saja. Seselesainya kegiatan hari ini, tak aku duga bahwa Luthfi membelokkan motornya ke sebuah cafĂ© yang terkenal di kota ini. Sejak SMA aku sering datang kemari bersama teman-teman untuk sekedar membeli segelas milkshake atau capuccino  namun menghabiskan waktu berjam-jam disana untuk mengobrol dan tertawa terbahak-bahak menertawakan hal tidak penting. Tanpa aku duga dia mengajakku makan malam di tempat ini dengan iming-iming dia yang akan membayariku makan, 10 menit setelah memesan makanan kami masih saling diam, sampai akhirnya Luthfi lah yang memulai permbicaraan, dia bertanya untuk apa aku mau bergabung di BEM, kami bertukar cerita mengenai kehidupan sehari-hari, keluarga, hobi, dan lainnya. Sampai akhirnya makanan kami tiba, kami menghabiskannya dan lalu pergi pulang tepat pukul 11 malam.
Hari ketiga, kami melakukan sebuah permainan bersama anak-anak ini. Khusus untuk kali ini mereka melakukan permainan-permainan tradisional seperti bermain Galasin, petak umpet dan bermain gasing. Aku dan Luthfi turut bersama mereka tanpa ingat bahwa kami adalah seorang mahasiswa tingkat tiga di kampus, tak peduli dengan status itu, kami ikut bersenang-senang bersama mereka. Untuk pertama kalinya, aku dan Luthfi bisa tertawa lepas berdua. Hari ini selesai begitu melelahkan, kian berlari kesana-kemari dan tertawa. Selesai sudah rangkaian kegiatan hari ini, aku dan Luthfi pamitan pada semua anggota yang ada disana dan berterimakasih banyak atas kesediaan mereka mengizinkan kami untuk bergabung bersama mereka selama tiga hari ini, sebelum akhirnya mereka akan bekerja sama dengan kami pada event kami di bulan Ramadhan. Kembali bersama Luthfi ketika hari H tiba, ini sudah memasuki hari ke 10 di bulan Ramadhan, jauh hari telah kami siapkan konser charity ini, guest star sudah di siapkan, bazzar dalam rangka bakti sosial pun sudah tersaji secara rapi. Konser charity ini akan berlangsung selama 5 jam, lengkap dengan sajian buka bersama yang sudah disiapkan bagi semua yang hadir disini termasuk para anak-anak jalanan dan anak yatim yang sudah diundang pada event kami ini. Yang terpenting dari konser ini adalah hasil yang kami dapatkan adalah seluruhnya untuk para anak-anak tersebut. Sebelum acara dimulai orang-orang tampak sudah memenuhi venue dan ini adalah kebahagiaan yang harus kami semua syukuri. Ideku ini, berbuah manis, sekarang aku dan yang lain hanya perlu bekerja pada tahap akhir sebagai panitia dari acara ini dan menikmati hasil yang kami peroleh. Senyum manis dari setiap orang yang berpartisipasi dalam acara ini adalah hal terindah bagiku.
Tanpa terasa Adzan Maghrib sudah berkumandang, aku yang sibuk mengurus acara ini sedari awal mulai, memastikan agar semuanya mendapatkan makanan sesuai porsinya. Untukku sendiri itu urusan belakangan. Aku duduk sendiri tepat di dekat pintu keluar, dan tanpa sadar ada seseorang yang menghampiriku sembari membawkanku makanan. Ternyata, itu Luthfi  tersenyum manis sembari memberikan aku makanan. “Makan, kamu seharian ini capek dan perut kamu kosong” ucap Luthfi Tak salah dengarkah aku ini? Ternyata tuhan memberikan sebuah kejutan di akhir dari segala perjuangan yang dilakukan berminggu-minggu ini, acara berjalan lancar dan semesta berhasil merubah Luthfi enjadi manusia yang akhirnya dapat dilelehkan perasaanya, Tuhan lah yang ahli membolak-balikkan perasaan.
“Oh iya, Fa. Gue mau bilang makasih banyak sama lo buat beberapa minggu yang gue lewatin bareng sama lo. Konyol sih gue ngomong kayak gini, sebelumnya gue belum pernah ngomong kayak gini ke cewek mana pun. Elo yang awalnya sering bikin gue keki ternyata bisa jadi partnery ang asik. Lo ternyata nyenengin juga. Bareng sama lo nggak seburuk yang gue kira. Makasih ya, Fa”
“Sama-sama, Ndu. Aku kira kamu nggak akan berubah seperti ini. Aku kira kamu Cuma punya sisi jahat doang. Hahahaha terimakasih juga sudah mau jadi partner aku. Jangan bosan ya.”
“Nggaklah, gue akhirnya dapet pelajaran hidup yang nggak gue dapetin di sekolah mana pun, bareng sama lo terjun ke anak-anak jalanan itu. Nggak akan bosen kok, kalo bisa sih jadi partner idup gue aja sekalian. Hahahahaha”

Candaan Luthfi berhasil mendinginkan suasana diantara kami yang selama ini begitu panasnya, saat ini nyaris tak ada kecanggungan antara kami. Kami melanjutkan untuk menghabiskan santapan kami sembari mengobrol hingga acara selesai. Ternyata semua yang kami lakukan ini ada makna yang berharga yang bisa kami dapat. Aku mendapatkan pengalaman hidup yang berarti yang tak akau dapatkan dari sekolah mana pun seperti kata Luthfi. Terimakasih, Luthfi.


ps : - cerpen ini di bukukan dalam proyek menulis-nya sel publishing, nulis buku di buku yang ke-11, hehehe kalo ga percaya boleh cek TKP :))
      - judul di atas dibantu oleh sahabat saya, Antoni Gunawan :))

No comments:

Post a Comment