Saturday, September 21, 2013

# Meracau

(semoga) bukan pepesan kosong.

Sudah banyak kata-kata yang tertangkap oleh mataku, masuk melalui telingaku, menjadi bahan pertimbangan bagi pikiranku dan mengena tepat di hatiku, tapi semuanya seolah aku abaikan begitu saja. Ketika cinta membuat kamu yang ada dalam pikiranku seolah begitu berharga layaknya sebuah berlian yang harus diperlakukan dengan baik sementara tidak sebaliknya dengan perlakuanmu padaku, mungkin. Ketika cinta membuat diri ini tampak begitu bodoh, entah sudah berapa banyak air mata yang dijatuhkan hanya untuk menangisi orang yang bahkan tidak mempedulikan diriku ini, berapa kali diri ini harus merelakan lagi dan lagi hati ini untuk dihancurkan demi seseorang yang bahkan tak aku ketahui ketahui apakah dia pun rela jika hatinya mungkin harus hancur demi diriku, berapa kali perasaanku di obrak-abrik olehnya ketika bahkan aku merasa hidupku hampir sempurna. Ketika cinta membuatku seolah menjadi manusia yang rela menikmati rasa sakit yang berulang kali.
Untuk apa kemudian kamu datang kembali ketika aku sudah menjanjikan bahagia bagi diriku sendiri dengan mengeja bahagia itu dengan bukan lagi kamu, melainkan apa pun itu yang mampu membuat hatiku lega dan tawa yang tergambar dari bibirku tanpa harus mengingat kamu dan tentang kamu, ketika aku menjanjikan bagi hidupku sendiri bahwa sumber bahagiaku bukanlah lagi kamu, mengapa kamu datang kembali? Seolah memberikan setitik cahaya yang menjanjikan bahwa akan ada cahaya yang lebih terang disana, kamu datang seolah menjanjikan sebuah harapan yang besar di hidupku, seolah kamu lah segalanya. Namun kemudian kamu bisa saja pergi lagi sesuka hatimu tanpa pedulikan semua arti hadirmu di hidupku, kamu memang pernah berarti bahkan sangat, tapi jika harus seperti ini mungkin aku cukup lelah untuk diperlakukan layaknya orang bodoh yang bisa diatur dengan seenaknya. Kamu pernah menjadi orang yang sangat layak di hidupku ini, tapi mungkin tidak untuk saat ini.
Ya, begitulah semua ini terjadi, mungkin sebaiknya aku harus melakukan perbincangan yang serius dengan logikaku ini, agar dia mau berkerja ekstra keras secara terus menerus dibanding hatiku ini.. Aku harus melakukan perbincangan serius agar aku mampu terlepas dari apa yang dinamakan orang dengan tertahan oleh masa lalu. Tapi aku bisa apa jika aku saja masih saja lebih sering merasa bahagia ketika mendapat pesan darimu dibanding mengabaikannya? Apa yang salah dengan ini? 
Kemudian entah sudah berapa banyak orang yang sudah menegurku untuk ini semua, entah apa yang membutakan mataku, apa yang menutup telingaku hingga aku seolah tuli dengan apa yang sudah dikatakan oleh orang lain kepadaku, yang jelas-jelas aku sendiri tahu bahwa itu demi kebahagiaanku yang tentu saja aku sendiri yang harus menciptakannya, bukanlah orang lain. Ada banyak nasihat, teguran, saran, pesan dan ajakan untukku agar aku tidak terus menerus menjadi orang yang diam di tempat seperti ini. Lagi-lagi masalah ini menjadi suatu pergolakan batin, tak ada satu pun orang yang menyuruhku untuk menjadi seperti ini, tak ada satu orang pun yang meminta aku menjadi seperti ini, sebagian orang sudah bosan dengan ini, dengan aku, aku yang hanya berakhir dengan sebuah niat tanpa realisasi, aku yang tak pernah mampu menjadi apa yang orang-orang inginkan, aku yang mungkin membuat orang-orang jemu karena tak pernah aku dengarkan nasehatnya.
Lalu apalagi? Masih mau membuat banyak orang marah? Masih mau membuat orang lain kesal? Jemu? Bosan? Menunggu apalagi? Menunggu orang-orang ada pada tingkat kemarahannya pada diriku lalu aku merasa jera karena melihat mereka tak mau lagi peduli padaku? Tidak.. Bahkan membayangkan itu terjadi pun aku tak mau, jika aku harus merasakan kehilangan satu orang yang pernah aku sayangi dengan sangat lalu apakah harus orang-orang terdekatku pun ikut pergi dengannya? Tidak. Percayalah, kelak aku akan menjadi seperti apa yang kalian inginkan. Percayalah bahwa aku tak akan selamanya seperti ini, hanya entah aku tak tahu hingga kapan. Apakah aku nyaman dengan keadaan ini? Mungkin.
Hidup ini sederhana, begitu juga cinta. Aku tak bisa bicara rindu karena jarak diantara kita pun begitu jauh, bahkan sangat jauh. Ketika kita berdua pun, justru itu lah saat dimana aku dan kamu benar-benar menunjukkan bahwa kita kini benar-benar terpisah jarak sekalipun kita duduk berdampingan. Kamu dan aku tak lagi bisa seperti dulu, aku bisa saja merindukanmu di setiap hariku, aku bisa saja menghadirkanmu di mimpiku setiap malam, aku bisa saja memikirkanmu di setiap hariku, tapi kamu mungkin tidak. Untuk mempedulikannya saja bahkan kamu mungkin tak memiliki waktu, di dekatmu kini tak ku temukan lagi apa yang dulu dengan bangganya aku sebut rasa nyaman. Kini rasa takut, gelisah dan cemas yang ada ketika aku berada di dekatmu. Padahal jelas saja itu masih kamu, seseorang yang masih sama, mengapa kini berbeda? Jika pun aku merasakan bahagia ketika denganmu, itu artinya semua hanya asumsiku belaka, semua hanya tentang imajinasi dan fantasiku yang lagi-lagi dengan giatnya kamu abaikan. Semuanya kini hanya aku rasakan sendiri, aku nikmati sendiri, cangkir kesedihan ini aku tenggak sendiri dan barangkali sepi ini biar aku sesap sendiri bersama kesendirian yang hampir saja menjadi hambar rasanya.
Jika kamu pergi, mengapa tak kamu bawa serta bayangmu? Kamu masih tersisa di kepalaku, bermain-main dalam tumpukan kenangan. Diantara tumpukan kenangan yang hampir separuhnya adalah tentang kamu, tanpa lelah bayangmu berlari disana, di kepalaku. Apakah kini tugasmu berubah sebagai seorang yang menghantui di isi kepalaku? Jika kamu yang tak lelah ada di dalam kepalaku, begitu pun aku yang tak lelah berusaha membiarkan kamu pergi dari sana, jika sudah dengan cara yang baik kamu tidak mau pergi saja, apakah harus aku gunakan cara yang kasar agar kamu mau pergi? Mengapa kamu pergi meninggalkan banyak hal? Jika kamu memang benar-benar mau pergi dari hidupku, pergilah, dengan seluruh hal yang berkaitan denganmu, bawalah pergi. Semua hal yang belum aku ketahui tentangmu mungkin biarlah tetap menjadi sebuah rahasia yang tak perlu diperjuangkan adanya.. Jika kamu memang benar-benar ingin pergi, silahkan, asal jangan tinggalkan luka…
Masih ada ruang khusus untukmu jika kelak tuhan mempersiapkan sebuah hari dimana kita harus kembali lagi, masih tersisa ruang di kepalaku untuk kelak kamu isi kembali jika tuhan masih berkenan menggariskan jalan hidupmu menujuku, masih ada banyak hal yang bisa aku persiapkan dan bisa aku sediakan untukmu jika suatu hari keadaan mungkin berubah. Kelak aku takkan mengutuk diriku lagi, kelak aku takkan menangisi nasibku. Kelak semuanya akan berubah jika tujan mungkin membalikkan keadaan ini. Tapi aku tak banyak berharap, bagian ini harus jadi paragraf terakhir yang tak terlalu banyak berharap untuk menjadi kenyataan. Ini adalah sebuah barangkali yang berharap menjadi sebuah kata iya untuk segala pernyataan. Apakah harus aku perjuangkan untuk kembali denganmu di hari nanti? Apakah namamu masih harus aku sebut dalam setiap doa? Apakah semua harapan ini masih patut untuk diperjuangkan? Biarkan tuhan menuliskan sebuah cerita cinta yang indah bagiku, biarkan semesta tetap membimbingku dan menjadikanku perempuan yang kuat. Semoga, seharusnya..

No comments:

Post a Comment