Sudah
banyak kata-kata yang tertangkap oleh mataku, masuk melalui telingaku, menjadi
bahan pertimbangan bagi pikiranku dan mengena tepat di hatiku, tapi semuanya
seolah aku abaikan begitu saja. Ketika cinta membuat kamu yang ada dalam
pikiranku seolah begitu berharga layaknya sebuah berlian yang harus
diperlakukan dengan baik sementara tidak sebaliknya dengan perlakuanmu padaku,
mungkin. Ketika cinta membuat diri ini tampak begitu bodoh, entah sudah berapa
banyak air mata yang dijatuhkan hanya untuk menangisi orang yang bahkan tidak
mempedulikan diriku ini, berapa kali diri ini harus merelakan lagi dan lagi hati ini untuk dihancurkan demi
seseorang yang bahkan tak aku ketahui ketahui apakah dia pun rela jika hatinya mungkin
harus hancur demi diriku, berapa kali perasaanku di obrak-abrik olehnya ketika
bahkan aku merasa hidupku hampir sempurna. Ketika cinta membuatku seolah
menjadi manusia yang rela menikmati rasa sakit yang berulang kali.
Untuk
apa kemudian kamu datang kembali ketika aku sudah menjanjikan bahagia bagi
diriku sendiri dengan mengeja bahagia itu dengan bukan lagi kamu, melainkan apa
pun itu yang mampu membuat hatiku lega dan tawa yang tergambar dari bibirku
tanpa harus mengingat kamu dan tentang kamu, ketika aku menjanjikan bagi
hidupku sendiri bahwa sumber bahagiaku bukanlah lagi kamu, mengapa kamu datang
kembali? Seolah memberikan setitik cahaya yang menjanjikan bahwa akan ada
cahaya yang lebih terang disana, kamu datang seolah menjanjikan sebuah harapan
yang besar di hidupku, seolah kamu lah segalanya. Namun kemudian kamu bisa saja
pergi lagi sesuka hatimu tanpa pedulikan semua arti hadirmu di hidupku, kamu
memang pernah berarti bahkan sangat, tapi jika harus seperti ini mungkin aku
cukup lelah untuk diperlakukan layaknya orang bodoh yang bisa diatur dengan
seenaknya. Kamu pernah menjadi orang yang sangat layak di hidupku ini, tapi
mungkin tidak untuk saat ini.
Ya, begitulah semua ini terjadi, mungkin sebaiknya aku harus melakukan perbincangan yang
serius dengan logikaku ini, agar dia mau berkerja ekstra keras secara terus
menerus dibanding hatiku ini.. Aku harus melakukan perbincangan serius agar aku
mampu terlepas dari apa yang dinamakan orang dengan tertahan oleh masa lalu.
Tapi aku bisa apa jika aku saja masih saja lebih sering merasa bahagia ketika
mendapat pesan darimu dibanding mengabaikannya? Apa yang salah dengan ini?
Kemudian entah sudah berapa banyak orang yang sudah menegurku untuk ini semua, entah apa yang membutakan mataku, apa yang menutup telingaku hingga aku seolah tuli dengan apa yang sudah dikatakan oleh orang lain kepadaku, yang jelas-jelas aku sendiri tahu bahwa itu demi kebahagiaanku yang tentu saja aku sendiri yang harus menciptakannya, bukanlah orang lain. Ada banyak nasihat, teguran, saran, pesan dan ajakan untukku agar aku tidak terus menerus menjadi orang yang diam di tempat seperti ini. Lagi-lagi masalah ini menjadi suatu pergolakan batin, tak ada satu pun orang yang menyuruhku untuk menjadi seperti ini, tak ada satu orang pun yang meminta aku menjadi seperti ini, sebagian orang sudah bosan dengan ini, dengan aku, aku yang hanya berakhir dengan sebuah niat tanpa realisasi, aku yang tak pernah mampu menjadi apa yang orang-orang inginkan, aku yang mungkin membuat orang-orang jemu karena tak pernah aku dengarkan nasehatnya.
Kemudian entah sudah berapa banyak orang yang sudah menegurku untuk ini semua, entah apa yang membutakan mataku, apa yang menutup telingaku hingga aku seolah tuli dengan apa yang sudah dikatakan oleh orang lain kepadaku, yang jelas-jelas aku sendiri tahu bahwa itu demi kebahagiaanku yang tentu saja aku sendiri yang harus menciptakannya, bukanlah orang lain. Ada banyak nasihat, teguran, saran, pesan dan ajakan untukku agar aku tidak terus menerus menjadi orang yang diam di tempat seperti ini. Lagi-lagi masalah ini menjadi suatu pergolakan batin, tak ada satu pun orang yang menyuruhku untuk menjadi seperti ini, tak ada satu orang pun yang meminta aku menjadi seperti ini, sebagian orang sudah bosan dengan ini, dengan aku, aku yang hanya berakhir dengan sebuah niat tanpa realisasi, aku yang tak pernah mampu menjadi apa yang orang-orang inginkan, aku yang mungkin membuat orang-orang jemu karena tak pernah aku dengarkan nasehatnya.
Lalu
apalagi? Masih mau membuat banyak orang marah? Masih mau membuat orang lain kesal?
Jemu? Bosan? Menunggu apalagi? Menunggu orang-orang ada pada tingkat kemarahannya
pada diriku lalu aku merasa jera karena melihat mereka tak mau lagi peduli
padaku? Tidak.. Bahkan membayangkan itu terjadi pun aku tak mau, jika aku harus
merasakan kehilangan satu orang yang pernah aku sayangi dengan sangat lalu
apakah harus orang-orang terdekatku pun ikut pergi dengannya? Tidak.
Percayalah, kelak aku akan menjadi seperti apa yang kalian inginkan. Percayalah
bahwa aku tak akan selamanya seperti ini, hanya entah aku tak tahu hingga
kapan. Apakah aku nyaman dengan keadaan ini? Mungkin.
Hidup
ini sederhana, begitu juga cinta. Aku tak bisa bicara rindu karena jarak
diantara kita pun begitu jauh, bahkan sangat jauh. Ketika kita berdua pun,
justru itu lah saat dimana aku dan kamu benar-benar menunjukkan bahwa kita kini
benar-benar terpisah jarak sekalipun kita duduk berdampingan. Kamu dan aku tak
lagi bisa seperti dulu, aku bisa saja merindukanmu di setiap hariku, aku bisa
saja menghadirkanmu di mimpiku setiap malam, aku bisa saja memikirkanmu di
setiap hariku, tapi kamu mungkin tidak. Untuk mempedulikannya saja bahkan kamu
mungkin tak memiliki waktu, di dekatmu kini tak ku temukan lagi apa yang dulu
dengan bangganya aku sebut rasa nyaman. Kini rasa takut, gelisah dan cemas yang
ada ketika aku berada di dekatmu. Padahal jelas saja itu masih kamu, seseorang yang masih sama, mengapa kini berbeda? Jika pun aku merasakan bahagia ketika denganmu, itu artinya semua
hanya asumsiku belaka, semua hanya tentang imajinasi dan fantasiku yang
lagi-lagi dengan giatnya kamu abaikan. Semuanya kini hanya aku rasakan sendiri,
aku nikmati sendiri, cangkir kesedihan ini aku tenggak sendiri dan barangkali
sepi ini biar aku sesap sendiri bersama kesendirian yang hampir saja menjadi
hambar rasanya.
Jika
kamu pergi, mengapa tak kamu bawa serta bayangmu? Kamu masih tersisa di
kepalaku, bermain-main dalam tumpukan kenangan. Diantara tumpukan kenangan yang
hampir separuhnya adalah tentang kamu, tanpa lelah bayangmu berlari disana, di
kepalaku. Apakah kini tugasmu berubah sebagai seorang yang menghantui di isi
kepalaku? Jika kamu yang tak lelah ada di dalam kepalaku, begitu pun aku yang
tak lelah berusaha membiarkan kamu pergi dari sana, jika sudah dengan cara yang
baik kamu tidak mau pergi saja, apakah harus aku gunakan cara yang kasar agar
kamu mau pergi? Mengapa kamu pergi meninggalkan banyak hal? Jika kamu memang
benar-benar mau pergi dari hidupku, pergilah, dengan seluruh hal yang berkaitan
denganmu, bawalah pergi. Semua hal yang belum aku ketahui tentangmu mungkin
biarlah tetap menjadi sebuah rahasia yang tak perlu diperjuangkan adanya.. Jika
kamu memang benar-benar ingin pergi, silahkan, asal jangan tinggalkan luka…
Masih
ada ruang khusus untukmu jika kelak tuhan mempersiapkan sebuah hari dimana kita
harus kembali lagi, masih tersisa ruang di kepalaku untuk kelak kamu isi
kembali jika tuhan masih berkenan menggariskan jalan hidupmu menujuku, masih
ada banyak hal yang bisa aku persiapkan dan bisa aku sediakan untukmu jika
suatu hari keadaan mungkin berubah. Kelak aku takkan mengutuk diriku lagi,
kelak aku takkan menangisi nasibku. Kelak semuanya akan berubah jika tujan
mungkin membalikkan keadaan ini. Tapi aku tak banyak berharap, bagian ini harus
jadi paragraf terakhir yang tak terlalu banyak berharap untuk menjadi
kenyataan. Ini adalah sebuah barangkali yang berharap menjadi sebuah kata iya
untuk segala pernyataan. Apakah harus aku perjuangkan untuk kembali denganmu di
hari nanti? Apakah namamu masih harus aku sebut dalam setiap doa? Apakah semua
harapan ini masih patut untuk diperjuangkan? Biarkan tuhan menuliskan sebuah
cerita cinta yang indah bagiku, biarkan semesta tetap membimbingku dan
menjadikanku perempuan yang kuat. Semoga, seharusnya..
No comments:
Post a Comment