Saturday, May 23, 2020

# Life Lessons

Penghujung Ramadhan di Kala Pandemi



Halo teman-teman, apa kabar? Semoga semua yang sedang membaca tulisan ini ada dalam kondisi sehat walafiat dan selalu ada dalam lindungan Allah SWT ya :')

Hari ini, hari dimana saya menulis tulisan ini adalah hari ke 65 saya di rumah saja, pergi keluar hanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Bosan? Jujur sangat bosan, sebagai orang yang extrovert saya biasa dapat energi dengan bertemu orang-orang, bersosialisasi dengan orang-orang, berinteraksi dengan orang-orang dan hal itu sudah 65 hari tidak saya lakukan. Tidak bisa bertatap muka langsung dengan teman-teman, tidak keluar rumah, hanya berkerja dari rumah saja. 

Percayalah, selama hidup saya tidak pernah terpikirkan di masa dewasa ini akan berada di kondisi seperti ini, menghadapi pandemi, wabah, virus yang berbahaya dan juga resesi ekonomi karena wabah ini. Menjadi perempuan dewasa yang harus menjadi tulang punggung keluarga saat ini, ditengah segala ketidakpastian ekonomi harus tetap mencari nafkah untuk keluarga, tapi percayalah Allah maha baik, semua yang kamu takutkan belum tentu akan terjadi. 

Jujur banget awal-awal muncul pandemi ini di Wuhan, China, saya masih merasa biasa saja dan berpikir "lah jauh juga virusnya di China santai aja lah, nggak akan nyampe kali ya ke Indonesia" dan pada akhirnya di awal bulan Maret resmi diumumkan bahwa ada 2 kasus positif virus Corona di Indonesia ini, dan saya masih harus ke Jakarta untuk mengurus pembukaan restoran di pertengahan bulan Maret, resah, nggak mau pergi, karena setakut itu, walaupun cuma 3 hari 2 malam. Sampai ke Bandung langsung bersihkan semua yang dipakai dan di bawa, dan alhamdulillah bisa pulang kembali ke rumah. Still can't believe that this thing is really happened now. Masih nganggep ini cuma mimpi buruk dan saya belum bangun, tapi ternyata ini nyata.

Semakin hari semakin banyak orang terinfeksi, hari ini di hari dimana saya menulis ini sudah 5.2 juta populasi di dunia yang terinfeksi virus ini. Jujur, ketika perusahaan memutuskan untuk memulai work from home untuk karyawan-karyawannya saya merasa lega, akhirnya tidak harus keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain demi mengurangi resiko penularan. Tapi selama di rumah saja di awal-awal mulai work from home rasanya nggak karuan, takut, stress, bener-bener stress sampe kepikiran, sampe asam lambung naik, segala rasa takut tiap hari memenuhi isi kepala, sampai bener-bener kadang nggak bisa kontrol diri, gemeter dan kesemutan, satu bulan berlalu, badan baru mulai terbiasa dengan kondisi ini. Semakin baca berita, semakin takut, berusaha untuk nggak cari tahu tapi sepertinya perlu tahu seperti apa kasus ini, akhirnya mulai memilah-milah apa yang dibaca demi kesehatan mental. Batuk sedikit, parno. Sesek nafas dikit, parno. Sakit tenggorokan dikit, parno. Udah sampe pusing menghadapi isi kepala sendiri. Tapi ternyata ga bisa fokus cuma mikirin kejadian ini aja, hidup masih harus tetap berjalan.

Kenapa setakut itu? Karena takut meninggal dunia? Kemungkinan orang meninggal dunia kapan pun lebih besar daripada karena penyakit ini. Lalu apa yang ditakutkan? Ketakutan terbesar adalah rasa kehilangan. Kita tidak pernah mempersiapkan diri untuk kehilangan-kehilangan itu, ketika anggota keluargamu terkena virus ini, bisa jadi itu kali terakhirmu untuk melihatnya. Jika sembuh bisa kembali pulang ke rumah, jika meninggal dunia bahkan kamu tidak dapat melihatnya untuk terakhir kalinya. Ketika sakit dan harus dirawat, kamu tidak bisa menengoknya. Ketika meninggal dunia, dimakamkan pun tidak bisa disaksikan oleh banyak orang dan tidak bisa melihat wajahnya untuk terakhir kalinya. Hal ini yang benar-benar menjadi ketakutan terbesar bagi saya, apakah saya siap kehilangan orang-orang yang saya sayang karena pandemi ini? Tidak, saya belum mampu membahagiakan mereka, dan saya masih ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Yang saya lakukan hanya bisa berdoa semoga dengan izin Allah wabah ini segera diangkat.

Semenjak di rumah saja punya lebih banyak waktu untuk ibadah dan mendengarkan kajian, nikmat ini yang sebelumnya tidak pernah dirasakan karena terlalu sibuk dengan duniawi, tapi saat itu juga saya berpikir ternyata saya belum punya bekal apa-apa untuk meninggal dunia, saya belum membahagiakan kedua orang tua saya dan saya ternyata tidak tahu banyak tentang ilmu agama. Dangkal sekali, dan selama di rumah saja saya coba belajar dr hal kecil. Maaf ya Allah ternyata hal-hal seperti ini yang selama ini luput dari kehidupan, bersyukur masih diberi waktu untuk memanfaatkannya dalam mencari ilmu, karena sungguh ternyata saya bodoh, saya tidak tahu apa-apa dan ilmu agama saya sedikit sekali. Sedih :')

Semoga saya bisa istiqamah dan tidak hanya saat terdesak saja mencari pertolongan Allah. Aamiin..

Saya sempat melemparkan sebuah pertanyaan di Instagram mengenai "hal pertama apa yang akan kamu lakukan saat pandemi ini berakhir?"



Jawaban terbanyak adalah menemui orang-orang yang disayang, dan itu yang ingin saya lakukan juga. Menemui seluruh anggota keluarga, pacar, sahabat-sahabat, teman kerja dan semua orang tersayang, ingin peluk satu-satu tapi itu hal yang tidak mungkin di new normal ini. Jangankan berpelukan atau berjabat tangan, bertemu pun harus menjaga jarak, hal yang dulu adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan, nikmat yang dulu sering kita sia-siakan, bertemu orang lain dengan tanpa rasa khawatir dan merasa aman saat harus pergi kemana pun.

Bekerja lagi.
Hal yang juga diharapkan banyak orang di tengah kondisi ini, saat diluar sana banyak orang yang harus dirumahkan tanpa gaji dan bahkan sampai harus di PHK, kamu yang masih bekerja haruslah sangat bersyukur apapun kondisinya. Hang in there. This too shall pass. Tetep berdoa, tetep minta sama Allah, sekecil apapun, ceritakan sama Allah semua kecemasan dan kekhawatiran kamu. 

Pengen main, pengen makan di restoran, pengen ke bioskop, pengen ke salon, jalan-jalan ke tempat wisata dan segala hiburan yang selama ini biasa kita nikmati dengan tanpa rasa was-was, merasa bahagia, melepas penat, semua nggak bisa kita lakukan saat ini padahal hal-hal itu dulu dapat kita lakukan kapan saja, dimana saja tanpa rasa takut dan rasa was-was. 

Keinginan teman-teman sama seperti apa yang saya inginkan, saya pun sama, ingin sekali bisa berkumpul dengan keluarga, bertemu teman-teman, main, jalan-jalan, semua yang sudah lama tidak bisa dilakukan, tapi ternyata harus sabar, hal-hal itu tidak bisa kita lakukan dulu, semuanya harus serba virtual, sedikit-sedikit video call, sedikit-sedikit telepon, sedikit-sedikit kirim pesan, nggak bisa semuanya seperti dulu dan kita harus menerima kondisi ini. Kita sebagai manusia mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan keadaan. Bersyukur kita masih bisa diberi nikmat dan waktu, bener-bener deh ini hal yang berharga walaupun banyak orang mungkin ngedumel karena kesel di rumah saja tapi percayalah, lebih baik kamu kebosanan di rumah daripada kamu harus di isolasi atau di rawat di rumah sakit.

Saya yang sudah 65 hari di rumah ini belakangan jengkel karena melihat berita banyaknya orang yang rela berdesak-desakkan demi belanja baju lebaran, atau masih nekat mudik, atau mengabaikan peraturan dan tetap datang ke pusat perbelanjaan. Manusia-manusia egois, entah apa yang ada di pikiran mereka yang di kala pandemi seperti ini masih memaksakan untuk memenuhi hasrat dan keinginan yang sesungguhnya tidak terlalu penting, bukan kebutuhan tapi hanya keinginan. Dengan iming-iming bosan di rumah, yang bosan bukan hanya anda-anda semua, semua yang selama ini diam di rumah saja padahal biasanya kegiatan atau aktivitasnya seabreg akan sangat risau dan stress dengan kondisi seperti ini. Mereka itu cari apa sih ditengah kondisi seperti ini? Disuruh menjauhi hal-hal yang mudharat malah didekati, gimana Allah mau angkat wabah ini dari muka bumi kalau manusia-manusia nya masih egois seperti ini? Pikirkan para tenaga medis yang bekerja ekstra di kala pandemi ini, mereka ingin pulang saja sulit, boro-boro mikir mudik, ke mall, mereka mikirin orang-orang sakit, dengan resiko mereka tertular sangat tinggi. Qadarullah, semua adalah kehendak Allah, tolong sama-sama saling bantu dan mendoakan, jangan egois. 

Saya menulis ini dikala takbir mengalun diluar sana, esok hari adalah hari raya Idul Fitri, percaya atau tidak, kita semua berhasil melewati Ramadhan di tengah pandemi ini. Sedih, bener-bener sedih karena suasana Ramadhan tahun ini berbeda, tidak bisa teraweh berjamaah di masjid, tidak ada silaturahmi langsung dengan teman dan keluarga tapi semuanya harus tetap disyukuri. Sedih karena Ramadhan ini sudah berlalu dan saya merasa ibadah saya belum maksimal, karena saya takut tidak bisa dipertemukan dengan Ramadhan di tahun depan. Semoga Allah melembutkan hati orang-orang yang egois tadi, di saat seperti ini bukan hanya anda yang kesusahan, kita semua seluruh dunia sedang mengalami musibah dan hanya Allah yang bisa merubahnya, hanya Allah yang bisa kasih kemudahan, hanya Allah yang bisa angkat segala musibah ini.

Dari pandemi ini saya belajar, saya harus bersyukur dengan apa yang sudah Allah kasih, sekecil apapun itu nikmat yang Allah kasih, rezeki yang bukan hanya berbentuk uang, rezeki berbentuk teman-teman yang baik dan segala nikmat yang Allah kasih..

Happy Eid Mubarak.
Mohon maaf lahir dan batin teman-teman semuanya, maafkan kalau ada salah kata maupun perbuatan. Semoga Allah terima amal ibadah kita di bulan Ramadhan ini, semoga Allah selalu memberikan ampunan dan menerima taubat-taubat kita. Maaf kalau mungkin ada perbuatan atau tingkah laku saya yang pernah menyinggung dan menyakiti hati, semoga kita bisa dikasih umur untuk ketemu lagi di Ramadhan selanjutnya. Aamiin ya Allah. Selalu husnudzan, semoga Allah kasih kita semua umur untuk bertemu di lain hari. 

No comments:

Post a Comment