Masih terikat
dengan orang yang sama namun tentu dalam waktu yang berbeda.
Malam itu, tak sengaja aku menemukan sosokmu yang
tersimpan di laci meja kayu tempat dimana aku menaruh lampu tidurku, aku
menemukanmu dalam bentuk sebuah gambar dimana kita tersenyum manis disana,
berdua. Ketika aku mengobrak-abrik isi laci dengan cemas mencari flashdisk ku
yang berharap akan ku temukan disana karena mungkin aku lupa menyimpannya tapi
ternyata yang aku temukan adalah sosok kita dengan tawa riang di masa lalu.
Iya, kamu. Masa lalu, begitu aku mengejamu.
Terkaget, melemah, sekujur tubuh berubah menjadi dingin padahal aku tahu saat
itu tidak ada angin berhembus di sekelilingku, tak ada apapun disana dan aku
yakin jendela tertutup rapat, suhu kamar
yang tetap, dan aku yakin bahwa di kamarku tidak ada pendingin ruangan apapun,
aku-terbujur-kaku. Mengapa harus aku temukan lagi? Mengapa aku mencari
flashdisk ku di laci kayu yang nyaris tak pernah aku sentuh dan bahkan aku buka
selama ini, aku nyaris melupakan keberadaannya, bahkan aku pernah ingin
menguncinya rapat lalu aku buang jauh kuncinya, hingga tak pernah bisa aku buka
lagi. Entah apa yang merasukiku, enatah apa yang membisiki ku, entah apa yang
terjadi pada isi kepalaku, entah apa yang mempengaruhi impuls ku untuk bergerak
menghampiri laci itu. Tak sengaja malam
ini mempertemukanku dengan sebuah potret di masa lalu, masa dimana kami masih
bahagia bersama, masa dimana kami suka menghabiskan sore dan menikmati senja
berdua di taman belakang rumah ini sembari di temani secangkir teh panas dengan
asap nya yang mengepul menambah hangatnya perbincangan kami setiap sore nya.
Beberapa jam yang menjadi momen terindah dalam hidupku, saat-saat ternyaman
adalah bersamamu. Teh panas kesukaan kami berdua. Aku, Kamu, Teh Panas, Asap yang mengepul, di sore
hari, Menuju Senja, bersama.
Ah mengapa rekaman kejadian itu harus teringat kembali di saat seperti ini, di
saat aku panik dengan tugas-tugas kantorku yang ada di dalam flashdisk itu. Aku
kembali mencarinya, tetapi sebelumnya aku ambil foto itu dan menyimpannya di dalam
Agenda Kerjaku, sebelum aku menyimpannya aku tak sengaja melihat sebuah tulisan
di balik foto itu, kembali aku teringat apa yang terjadi di balik tulisan itu
"Senja
ini akan selalu ku habiskan bersamamu. Tak ada yang lain, senja ini milik kita
berdua, Fan" -Enggar.
Tertulis disana, tanggal dimana Enggar menulis kata-kata itu, begitu katamu,
senja itu milik kita. Pikiranku melesat menuju suatu waktu dikala senja masih milik
kita. Di hari ketika senja masih kita nikmati berdua, dikala senja masih
menyenangkan ketika ia datang, itulah senja, masa dimana kamu menjanjikan
banyak bahagia untukku. 20 September
2005, tertulis disana, ketika kita masih melewati hari bahagia dengan
bersama-sama. Iya, kita, berdua.
Pikiranku melayang jauh, mengawang-ngawang, hanya karena sebuah foto yang
merekam kejadian di masa lalu lantas pikiranku kembali pula mengingat itu
semua? Terjerat sebuah kenangan di masa lalu membuatku merasa bodoh, mengapa
harus aku ingat lagi manusia yang ada di gambar ini? Bukankah dulu aku sendiri
yang memutuskan untuk menjauh darinya? Lantas bila sekarang rindu, siapa yang
harus menanggung? Tentu saja diriku sendiri. Aku yang bodoh, tak pernah pikir
panjang sebelum memilih sesuatu. Aku bisa memilih untuk tak menjauh tapi tentu
saja aku akan lebih sakit saat mengetahui segala tentangnya dan tentu aku tahu
yang lebih baik adalah aku menjauh dan tak tahu menahu tentang apapun, tidak
tahu apa-apa itu jauh lebih baik bagiku, sekalipun sekarang aku rindu aku harus
menanggungnya sendiri. Semua rasa rindu ini pun aku yang buat, tapi
menemukannya kembali malam ini jauh di luar pikirku, ini terjadi secara tak
sengaja Tangan nakalku membuat suasana menjadi tidak enak, niat awalku yang
sudah berapi-api dan sangat semangat untuk mengerjakan tugas kantor yang
menumpuk kini dikalahkan rasa yang kacau dalam waktu hitungan detik. Mengenang
yang sudah hilang memang mudah, dalam hitungan sepersekian detik bahkan ingatan
kita mampu mengingat banyak yang sudah hilang, apalagi -kamu.
Flashdisk ku tak juga ku temukan, rencana mengerjakan
tugas kantor yang menumpuk kini berubah menjadi sebuah wacana, ku lemparkan
badanku menuju tempat tidur, ku rebahkan diri sembari menatapi sketsa diri yang
tergambar dalam sebuah foto. Lihatlah kita pernah tersenyum manis bersama dibawah sebuah sore menuju senja. Kemana kah harus ku cari kembali sosok yang telah menghilang sejak lama itu?
Aku yang memutar kepala berpikir dan bertanya-tanya, kapan kah terakhir kali
sosok lelaki itu hadir di hadapanku? Aku nyaris lupa.
Lelaki dengan alis mata yang tebal dan lesung pipi di setiap senyum manisnya,
tak lupa hidung nya yang mancung membuatnya semakin sempurna jika dilihat dari
sisi mana pun, bahwa senyumnya yang aku rindu, senyum yang saat ku lihat mampu
membuatku lupa akan apa yang sedang ku alami dan membuatku terhanyut bersama
senyuman itu, senyum yang membuatku lupa akan bumi yang sedang aku pijak, hanya
terfokus pada satu hal yang ternyata mampu membuat dunia berhenti sejenak dan
membuatku masuk ke suatu waktu yang paling indah, beberapa detik saat menikmati
senyummu. Keindahan tuhan yang nyaris mencapai sempurna dan tuhan titipkan
untuk menemaniku walaupun tidak dalam waktu yang lama. Saat bersamamu mungkin
pernah aku anggap sebagai saat terbaik dalam hidupku, iya pikiran seperti itu
terkadang selalu terlintas. Dan kini, kemana kah kini perginya sosok itu?
Seingatku, setelah aku tahu bahwa dia memiliki pacar baru, aku segera menghapus
segala tentangnya karena aku kesal. Ketika aku melihatnya memiliki pacar baru,
dunia serasa runtuh, seluruh dunia bagaikan ada di bahuku, aku merasa tak ada
orang di pihakku, aku merasa sendiri dan kesal, aku merasa seperti akulah orang
paling menyedihkan saat itu. Ingin meluapkan amarah namun entah pada siapa,
hingga akhirnya terbesit pikiran untuk menghapus semua tentangmu, dari mulai
kontakmu dan semua kenangan kita berupa gambar dalam sebuah folder. Iya, rasa
kecewa yang membuatku hilang kendali dan merasa seperti ini, bukan dalam posisi
tersadar, ketika rasa kecewa mengambil alih, logika seolah menciut. Dan kini
aku menyesal ketika aku rindu aku tak tau kemana harus mencari dan harus ku
hubungi siapa, rindu ini menyerang di waktu yang tepat, rindu ini datang tak
aku inginkan, rindu ini jatuh pada objek yang salah, pada objek yang seharusnya
tak lagi di rindukan untuk saat seperti ini, berikan aku petunjuk mengenai
Enggar tuhan.. Kali ini aku rindu sosoknya, sosoknya yang selalu bertingkah
konyol lalu dia merasa bahagia karena berhasil membuatku menyunggingkan sebuah
senyum dan bahkan tertawa riang. Masih terekam jelas disaat Enggar mampu
membuatku tersenyum karena tingkahnya yang bodoh, dia loncat kegirangan dengan
mukanya yang penuh ekspresi dan kadang hilang kendali saking bahagianya, dia
selalu tak sadar dengan apa yang dia lakukan. Tapi, itulah dia, selalu terekam
jelas disini, di kepalaku.
Terkenang akan satu masa membuatku benar-benar ingin mencarinya.
Ah seisi ruangan ini berubah menjadi sendu, gloomy,
lampu kamar berubah seolah-olah menjadi lebih gelap, di luar sana terasa sunyi,
ah mengapa pikiranku tertuju pada Enggar. Mengingat sesuatu yang sudah hilang
tentu saja bukan hal baik untuk kesehatan perasaan dan pikiranku. Kenapa Enggar
malah hadir disaat-saat seperti ini, dibawah malam yang syahdu dan begitu
terang, disana terdapat bulan sabit yang sedang melengkung indah, malam tak
pernah sehening saat aku tercekik rasa rindu, tak seperti biasanya yang
sekalipun hening namun aku masih bisa mendengar nyanyian syahdu dari para
jangkrik di luar sana. Lantas, kemanakah mereka malam ini? Ditelan bumi? Atau kah
ikut menghilang bersama bayangan Enggar yang kini ku cari?
Tak ada yang lebih sunyi dibandinkan dengan sunyi nya malam seorang perempuan
yang didekap erat rindu menggebu-gebu, yang terdengar hanya detak jam dinding
yang menunjukan pukul 21.55. Lelah rasanya dikejar rasa rindu. Berikan aku
sebuah tidur nyenak yang segera menghantarku pada esok hari dan melupakan ini,
termenung berlama-lama memikirkan yang sudah hilang akan segera membuatku gila.
Tanpa sadar aku terlelap dengan fotoku bersama Enggar
dalam pelukanku, entah apa maksudku membawa foto itu tenggelam dalam tidurku,
agar terbawa dalam mimpi? Agar di dalam mimpi aku bisa menemui sosok Enggar?
Entah. Entah aku tak tahu. Yang pasti ketika aku terbangun nanti aku akan
terkaget dengan apa yang terjadi..
05.45
*Homogenic - Destiny*
Destiny, here I am.
Giving all my dream,
I never felt so in love before.
When forever is not enough.
Nothing can tear us apart.
Tanganku meraba-raba meja dan mencari sumber dari
kegaduhan itu yang tidak lain adalah bunyi alarm dari ponselku yang menyuruhku
untuk segera bangun dari tidurku dan beranjak meraih hal baru hari ini. Siapkah
diriku? Tidak terlalu.
Aku sedang dikejar tugas deadline dari kantorku, teringat kembali dimana
flashdisk ku itu, ah bahkan di hari libur ini pun aku harus bekerja, iya
bekerja di rumah maksudku, mengerjakan tugas-tugas yang tak sempat aku
selesaikan di kantor dan harus aku bawa pulang. Mengingat tugas kantor
benar-benar mengganggu indahnya hari liburku, sangat mengganggu bahkan.
Sa-ngat.
Sebelum aku beranjak aku tersadar bahwa aku masih
menggenggam foto itu dalam pelukanku dan aku terkaget dengan apa yang aku lakukan,
ah sebegitunya aku sehingga foto itu aku bawa dalam lelap tidurku. Segera ku
simpan di dekat fotoku yang ku simpan di meja sebelah tempat tidurku dan aku
beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku lekas mencuci mukaku dan
menggosok gigiku sebelum aku melakukan kegitan utamaku hari ini, mengerjakan
tugas kantor. Ah aku selalu ingat bahwa aku tinggal sendirian di rumah yang
cukup luas ini, bayangkan saja rumah berisi 2 kamar, 1 dapur dan 2 kamar mandi
juga ruang tamu dan taman yang luas ini harus aku tinggali sendiri? Entah
mengapa ibu memberiku rumah sebesar ini untuk aku tinggali sendiri, terkadang
aku butuh teman. Iya, teman. Bahkan seorang pendamping hidup mungkin lebih
baik. Ah pikiran kacau di pagi hari.
Kemudian aku berjalan perlahan menuju dapur, melihat
apa yang mungkin bisa aku makan disana. Hanya ada 2 butir telur dan beberapa
potong roti tawar, terbesit untuk membuat sebuah sandwich pagi ini.
Selamat pagi dunia, ini aku perempuan yang sedang
dilanda rasa rindu yang menyesakkan dada.
Sepanjang hari ini aku harus menyiapkan diri untuk ada
di depan laptop sepanjang hari, dikarenakan aku lupa dengan keberadaan
flashdisk ku itu, ada baiknya aku meminta Alin untuk mengirimkan data-dataku
via email, aku ingat aku selalu menitipkan dataku juga padanya.
**
Hari berlalu dengan cepat saat aku ada di depan laptop
seharian hingga lupa mandi, dan bahkan aku pun lupa belum makan siang sedangkan
sekarang waktu sudah menunjukan pukul 18.48, ini bahkan nyaris waktunya makan
malam. Lebih baik aku mandi mencari makan dan lekas tidur.
05.00
*Homogenic - Destiny*
Alarmku kembali berbunyi, tanganku segera meraba-raba
mencarli kembali asal dari kegaduhan, tanganku refleks menekan tombol snooze,
tuhan, tolong 10 menit lagi saja… Setelah 10 menit aku berlalu akhirnya aku
terpaksa harus bangun dari tidurku. Hari senin, kita berjumpa lagi.
Semua pekerjaan dibuat deadline minggu ini karena akan
ada pesta besar memperingati hari ulang tahun bos di kantor. Katanya sebelum
hari Sabtu semua pekerjaan harus segera terselesaikan agar hari Sabtu nanti
kita dapat bersenang-senang katanya. Baiklah, aku ingin kembali tertidur,
tertidur hingga hari jumat nanti dan segera menikmati inidahnya sebuah pesta
yang penuh keramaian bersama pekerja kantor yang lainnya.
Anganku, mau tak mau aku harus melewati hari ini
hingga 5 hari ke depan. Dengan langkah gontai aku menuju ke kamar mandi, ah
seorang perempuan yang tinggal sendiri sepertiku ini tidak perlu menyiapkan
banyak ahal setiap harinya hanya sekedar mandi, sarapan, kemudian pergi ke
kantor, pulang ke rumah, makan, dan kembali tidur, apa yang menarik dari
rutinitasku? Setiap hari hanya berlangsung seperti itu, andai aku memiliki
seorang teman hidup mungkin takkan begini jadinya, mungkin sesekali akan ada
yang mengajakku pergi untuk sekedar berkeliling kota atau hanya untuk makan
bersama. Ah terlintas lagi pikiran bodoh ini yang membuatku termenung beberapa
saat ketika aku sedang menggosok gigi di depan cermin.
Heh. Apa yang sedang ku lakukan di senin pagi ini,
sudah memikirkan hal-hal aneh seperti itu, gara-gara kejadian kemarin lusa aku
menjadi teringat kembali tentang adanya seorang yang akan menjadi jodohku
kelak. Ah aku percaya pada semuanya, kelak, jika sudah waktunya pasti akan
datang dia, seseorang yang akan menjadi jodohku dan menerima aku sebagaimana
aku dan mungkin tidak akan meninggalkanku lagi, seperti seseorang di masa lalu.
**
Ku nyalakan mobil ku dan segera berangkat menuju
kantor, tanpa sempat sarapan aku lekas pergi menuju kantor, biar nanti saja aku
sarapan di kantor. Hari ini hingga 5 hari ke depan aku akan menjadi perempuan
tersibuk sedunia, menurut persepsiku.
“Stell, tunggu aku sebentar. Aku mau
parkir dulu”
“Eh Fani, hayuk buruan aku tungguin”
Itu Stella, seseorang yang merangkap sebagai sahabat
sekaligus partner kerjaku. Profesinya menjadi pendampingku dan seseorang yang
paling setia saat aku butuh bantuan. Dia temanku semenjak aku bekerja di kantor
ini, dia benar-benar orang yang sabar dan sangat baik, dia dewasa dan memiliki
naluri keibuan, cerewet, dia jago masak dan dia seorang yang selalu berpikir
perfeksionis, segala hal di matanya harus sempurna dan dia adalah orang yang
tegas juga terkadang sulit menerima pendapat orang, sekalipun begitu
saran-sarannya untukku selalu membuat aku menjadi orang yang lebih baik.
“Stell, aku belum sarapan, aku laper.
Tadi males masak, lagian stok di kulkas abis semua”
“Dasar kebiasaan, mentang-mentang
sendirian ga ada yang ingetin jadi kayak gitu. Mesti aku bilangin berapa kali
sih Fan, kalo keliatan stok nya udah dikit lagi ya kamu belanja lah sana kan
kalo kelaperan terus kamu pingsan ga ada yang nolongin kan beda cerita fan…kamu
tuh ya…”
“Sssssst udah dulu cerewetnya sekarang
temenin aku makan dulu mumpung baru setengah 7”
“Yaudah ayo cepetan ah keburu si bos
dateng nanti kita kena omel kagak bisa ikut party hari sabtu mampus juga”
Stella, dia memang cerewet tapi dialah yang selalu
perhatian dengan segala kecerobohanku. Teringat akan sesuatu yang mengganjal
dan membuat tubuh ini berdesir saat mengingatnya, ah Enggar, aku ingin
menceritakan pada Stella bahwa aku menemukan sebuah kenangan yang tersimpan
dalam sebuah foto berupa sosokku bersama Enggar, ah tapi aku takut dia akan
menceramahiku lagi. Seingatku, terakhir aku bercerita mengenai Enggar pada
Stella adalah ketika aku putus dengan Enggar dan kemudian aku menangis hingga
tersedu-sedu, bahkan Stella bukannya berusaha untuk menenangkannku dia malah
memarahiku hingga membentak-bentak aku, dia tidak suka katanya melihat aku
menjadi seseorang yang cengeng, katanya aku harus tegar, katanya aku harus
mampu menghadapi semua hal berat yang dihadapkan tuhan padaku. Stella tidak
pernah membiarkan tangisku semakin menjadi, Stella selalu memarahiku agar aku
segera menghentikan air mataku, katanya biarlah aku menangis dan bersedih tai
aku tak boleh terlarut. Karena aku pun sadar segala masalah tidak akan pernah
selesai dengan sebuah tangisan, tapi setidaknya itu membuat kita merasa lega.
Ku urungkan niatku untuk menceritakannya pada Stella, biarlah nanti saja, aku
simpan dulu saja sendiri sesuatu yang datang tiba-tiba dan menyesakkan dada
ini.
**
Akhirnya selesai juga hari ini, aku mau segera pulang
dan lekas tidur agar hari ini cepat berlalu..
05.00
*Homogenic - Destiny*
Alarm ini lagi, kembali aku harus menjalani hari. Di
hari selasa rasanya tetap sama seperti hari senin dan tidak ada yang berbeda.
Rutinitas kantor seperti biasa…
**
05.00
*Homogenic - Destiny*
Hari Kamis, 1 hari lagi menuju hari Jumat dan artinya
tugas minggu ini sudah selesai. Hari ini aku berencana untuk pergi bersama
Stella, tuganya hari ini adalah menemaniku untuk belanja keperluan bulananku.
Sepulang kantor nanti, kemudian kami akan makan malam bersama seperti yang
biasa kami lakukan. Ah akan lain cerita jika nanti aku sudah bertemu dengan
jodohku, ritunitas ini takkan lagi ku lakukan bersama Stella, biar aku dengan
jodohku nanti yang melakukan rutinitas ini bersama, bukankah jauh lebih
kedengaran romantis makan malam berdua bersama seorang pacar? Ah khayalku.
Hari kamis ini berakhir lebih lama dari biasanya,
serasa ada yang memperlambat jarum jam di kantor ini. Jika kita akan
bersenang-senang, waktu untuk menunggu itu terjadi rasanya seolah lama sekali.
1 jam lagi menuju waktu pulang, sabarlah Fan, sebentar lagi. Upayaku untuk
membuat diriku mampu melewati jam terakhir sebelum pulang.
**
“Stell ayo cepetan, nyari apalagi sih?
Keburu kemaleman kita kan mau temenin aku belanja bulanan katanya”
“Bentar fan, kacamata ku ketinggalan di
meja kantor”
“Yaudah gih ambil dulu”
Setelah Stella kembali dari pencariannya mencari
kacamata, kami bergeras pergi. Kamis malam ini kami habiskan berdua mengunjungi
sebuah mall, melihat-lihat pakaian di toko pakaian favorit kami sekalipun kami
tidak membelinya, melihat-lihat sepatu, sandal, elektronik, hampir semua toko
sudah kami jelajahi dan kini saatnya untuk memenuhi kebutuhan bulananku, kami
segera menuju swalayan untuk berbelanja. Setelah segala hal yang dibutuhkan
dirasa terpenuhi kami merasa lapar dan ingin mengisi perut kami yang kosong
sejak tadi sore ini. Mungkin di saat ini juga momen yang pas untuk menceritakan
apa yang ingin aku ceritakan pada Stella sejak beberapa hari yang lalu. Semoga
dia tidak menceramahiku hari ini.
“Stell, aku pengen cerita sama kamu
sebenernya. Tapi janji dulu kamu nggak akan marahin aku”
“Apaan sih Fan aneh banget nih kamu
tumben ngomong kayak gini, biasanya kamu kalo mau cerita ya cerita aja
blka-blakan gak pake embel-embel kayak gini segala. About what?”
“Janji dulu!”
“Iya, cepetan ngomong dahhhh”
“Ini tentang Enggar, Stell”
*uhuk*
“Eh Stell, kenapa keselek sih? Minum
minum cepet”
“Abisnya kamu ngagetin tiba-tiba ngomong
tentang Enggar sama aku ya aku kaget lah Fan. Itu udah setahun yang lalu sejak
terakhir kali kamu ngomongin tentang dia ke aku dan dulu kamu udah janji sama
aku untuk enggak nginget tentang dia lagi”
“Maka dari itu tadi aku minta kamu untuk
nggak marah dulu sebelum aku cerita”
“Hmmm yaudah sekarang kamu ceritain kamu
kenapa dan apa yang mau kamu ceritain ke aku tentang Enggar. Toh nggak ada hak
juga aku marahin kamu Fani sayang, itu udah setahun yang lalu, cara aku buat
nguatin kamu bukan dengan cara biarin kamu menye-menye dan terhanyut dalam
kenangan kamu sama Enggar, dulu aku marah sama kamu karena aku mau tegas sama
kamu supaya kamu tahu kalo hal seperti ini bukan buat berlarut-larut”
“Iya Stell, aku tahu, aku selalu tahu
itu, aku paham dengan caramu. Aku cuma keingetan Enggar, aku kangen dia. Hari
sabtu kemarin aku nggak sengaja nemuin foto kita berdua di laci meja di
kamarku. Aku tiba-tiba keinget semuanya. Aku kangen dulu waktu sama dia. Aku
pengen ketemu dia lagi dan bodohnya aku berharap secepatnya bisa ketemu dia.
Bahkan aku enggak tahu gimana caranya ketemu dia kalo aku pun nggak punya
kontak dia sama sekali. Kamu tahu sendiri kan aku udah hapus segala tentang dia
di hapdapan kamu waktu itu? Sekarang entah gimana caranya aku pengen banget ketemu
dia. Semoga tuhan ngasih kejaiban dan bisa nemuin aku sama dia”
“Fan, kamu sadar kan ngomong kayak
gitu?”
“Stell, aku masih sadar dan ini dengan
sepenuh hati. Aku nggek bercanda sekarang”
“Yaudah silahkan aja kamu berdoa dan
berharap di kota seluas ini kamu akan bisa ketemu lagi dengan Enggar seseorang
yang terakhir kali kamu temui setahun yang lalu. Ya kali aja tuhan masih baik
mau dengerin doa orang galau teraniaya kayak kamu. Selahkan tanggung sendiri
resiko dan konsekuensi yang akan kamu hadapi nanti”
“Stell ini aku serius kangen sama
Enggar, sejak nemuin foto itu aku selalu keingetan tiap malem. Gapapa deh aku
ketemu dia pas lagi sama pacarnya juga asal tuhan izinin aku liat wajah dia
bentar aja”
“HUS! Ngomongnya tuh ya, nanti kamu
sedih jangan lari sama aku ya. Mau emang kamu liat Enggar lagi jalan sama
pacarnya dan saat itu posisi kamu lagi sendiri? Mau kamu patah hati lagi hah?”
“Gapapa Stell, yang penting aku ketemu
Enggar”
“Fan, aku udah nggek ngerti sama jalan
pikiran kamu kali ini. Terserah kamu deh mau kayak gimana. Balik yuk, udah jam
10, ngantuk nih”
“Stell, nggak marah kan sama aku?”
“Gak lah, buat apa juga. Kamu kan udah
gede sekarang, udah bisa nentuin pilihan kamu sendiri. Aku percaya sama kamu
kok Fan. Semoga rindu kamu nggak cuma kamu simpen sendiri yah. Semoga rindu
kamu tau kemana dia bermuara. Ayo pulang Stefani cantik yang lagi galau”
Perbincangan singkat yang terjadi antara aku dan
Stella, entahlah, nampaknya dia kesal padaku yang keras kepala ini dan tetap
saja bodoh ingin bertemu lagi dengan Enggar tanpa ingat berapa banyak keburukan
yang Enggar buat dibanding kebaikannya. Stella hanya ingin membuatku menjadi
lebih baik dengan segala argumennya yang pada akhirnya selalu membuatku
berpikir bahwa dia memang benar. Kata-kata Stella tadi pun membuat aku
berpikir, akankah di kota yang luas ini tuhan kembali mempertemukan aku dengan
Enggar sekalipun dia sedang dengan pacarnya. Membangkitkan luka lama? Tak apa,
asal rinduku ini tahu jelas tempatnya harus bermuara.
**
Akhirnya tiba juga hari Sabtu waktu yang
aku nantikan, aku ingin bersenang-senang . Melepaskan segala resah di diri
mengenai Enggar, aku harap hari ini mampu membuatku melepaskan sejenak ingatku
tentangnya, aku harap hari ini aku mampu melupakannya untuk sejenak, aku harap
aku melepaskan bebanku hari ini. Semoga indahnya hari ini tidak ternodai apapun
yang akan membuatku merasa tidak bahagia. Sesungguhnya hari yang ku
tunggu-tunggu ini bukan untuk membuatku semakin kacau.
Aku pergi menjemput Stella di rumahnya
pukul 3 sore dan segela menuju ke sebuat tempat makan di mall yang ada di kota
ini. Ternyata pada khirnya bosku ini mentraktir karyawannya makan dan
berkaraoke bersama melepas penat katanya. Tak apalah yang penting asal bersama
rekan kantor pasti hal sederhana pun bisa terasa menyenangkan.
Kami makan malam bersama dan kemudian
berkaraoke, sebelum berkaraoke aku bersama Stella pergi ke sebuah toko
aksesoris untuk membeli sebuah ikat rambut. Seselesainya kami membeli ikat
rambut tak sengaja aku menabrak seseorang hingga aku menjatuhkan bawaanku dan
berceran jatuh berantakan ke lantai, aduh bodoh sekali diriku yang asyik
melihat barang yang baru saja ku beli sehingga lupa untuk melihat jalan di
hadapanku.
“Maaf maaf tadi saya nggak lihat jalan.
Maaf ya ma…”
Sebelum selesai mengucap kata maaf dan
mengangkat kepalaku ke atas, aku terkaget dengan apa yang ku lihat di
hadapanku. Sosok itu, sosok yang aku cari sejak beberapa minggu lalu. Sosok
yang aku rindukan, sosok yang belakangan ini dengan enaknya bermain di
kepalaku. Saat ini entah aku harus menyesalinya atau malah harus bahagia karena
omongan sesumbarku di beberapa hari yang lalu kini menjadi nyata. Sosok ini,
kini ada di hadapanku! Tuhan, doaku terkabul Tuhan! Ini Enggar, Enggar yang
ingin aku temui…. Namun bahagiaku sebaiknya tak perlu aku tunjukkan karena doa
sesumbarku ini menjadi nyata. Enggar, bersama wanita cantik disampingnya dan
menggandeng tangannya. Aku memang berharap akan bertemu dengan Enggar dalam
waktu dekat ini, tetapi tidak berarti omonganku yang sesumbar itu menjadi nyata
seperti ini, jujur memang aku bahagia saat aku bisa melihat wajah Enggar lagi
di hapadapanku. Tak banyak yang berubah, masih tetap sama, senyumnya masih
manis dengan lesung pipinya yang menjadi ciri khas, alis matanya yang tebal itu
masih menjadi favoritku hingga saat ini ternyata, tak ada yang tuhan rubah dari
makhluk ini, dia masih tetap menjadi lelaki yang mampu membuat seluruh
perhatianku terpusat padanya. Aku hanya termenung, melamun menatap wajah Enggar
seperti orang bodoh, aku tak mau tahu dengan wajahku saat itu. Aku termenung
selama beberapa saat, melamun dengan tanpa sadar hingga akhirnya Enggar
membuyarkan lamunanku itu.
“Fan,
Fani kamu ga apa-apa kan?”
“Eh
Enggar, enggak kok gak apa-apa, maaf akunya ceroboh”
“Kamu
ini, masih aja ya. Eh iya kenalin ini Giska. Giska ini Fani, Fani ini Giska.”
“Halo,
aku Fani”
“Halo
Fani, aku Giska”
“Eh
Stell, apa kabar lo? Ngapain melongo doang lo?”
“Hahahahahaha
baik gue nggar, gak apa-apa kok. Fan cabut yuk, bos keburu ngambek nih”
“Eh
mau pada kemana, masa baru ketemu bentar aja kalian udah cabut aja? Makan dulu
gitu yuk bareng gue sama Giska”
“Duh
maafin nggar, aku sama Stella udah ditunggu bos nih, kita ga bisa ngobrol
lama-lama. Sampe ketemu nanti ya nggar.”
Ah tuhan, beberapa detik paling
menyebalkan dalam hidupku akhirnya telah berakhir… Entah mengapa aku menjadi
canggung untuk berbicara dengan Enggar, aku tidak berani mengelurkan banyak
kata saat berbicara dengan Enggar. Ah, akhirnya aku harus menyaksikan kejadian
seperti ini dengan mata kepalaku sendiri. Di hadapanku, Enggar bersama kekasih
barunya. Mungkin semesta sedang menertawakan kekalahanku saat ini. Enggar yang
aku harapkan dari sejak dahulu ternyata memang sudah merasa bahagia dengan yang
lainnya dan tampak bahagia tanpa terlihat kekurangan apapaun, raut mukanya
menampakkan dengan jelas bahwa dia sangat bahagia bersama wanita yang bernama
Giska itu. Kembali aku dilanda kebingungan apakah aku harus bahagia bertemu
dengan Enggar atau kecewa dan bersedih karena dengan mata kepalaku sendiri aku
menyaksikan kejadian yang selama ini tak aku inginkan. Pikiranku masih melayang
kemana-mana, Stella disampingku, kami berjalan menuju tempat karaoke, sepanjang
jalan Stella bercerita padaku dan aku tak mendengarkannya karena aku sibuk
dengan pikiranku yang melayang jauh. Banyak hal yang kemudian hinggap di
kepalaku setelah aku bertemu Enggar.
“Fan jadi gue harus gimana dong sama
Rezky?”
“Apaan yang gimana Stell?”
“Astaga Faniiii, jadi daritadi lo gak
merhatiin gue ngomong? Jadi daritadi gue ngomong panjang lebar dan lo sama
sekali gak dengerin gue? Pikiran lo kemana sih? Dari habis ketemu Enggar tadi,
lo cuma pelanga pelongo terus”
“Eh maaf Stell, aku nggak fokus barusan”
“Bohong lo sama gue! Jangan coba-coba
bohong sama gue karena lo gak pernah bisa. Kenapa sih lo? Kenapa sama Enggar?
Nyesek karena omongan lo jadi nyata? Nyesek karena omongan lo yang sesumbar itu
kejadian? Rasain kan kejadian”
“Stellll…. Yaudah iya, aku minta maaf,
iya aku daritadi kepikiran Enggar. Iya aku nyesel aku pernah berharap ketemu
Enggar dalam keadaan seperti ini. Iya aku kesel. Tapi aku gatau mesti gimana
dan harus ngapain”
“Kamu masih sayang sama Enggar? Bentar
gak enak kita ngobrol sambil jalan gin, kita duduk dulu di depan tempat karaoke
nya baru kamu jawab pertanyaan aku”
**
“Aku bingung Stell, aku masih nggak
ngerti sama perasaan aku sendiri. Aku sayang sama Enggar tapi aku enggak mau
buat milikin dia lagi, tapi aku nggak mau lihat dia sama orang lain, aku nggak
mau lihat dia udah bahagia sama orang lain. Ini egois, dan ini bodoh. Tapi aku
pun enggak cukup bodoh untuk kembali sama Enggar buat kedua kalinya. Aku tahu,
aku sama Enggar emang enggak sebentar barengannya, dan ini yang bikin aku susah
buat ngehapus rasa aku sama dia. Aku emang masih sayang sama dia dan belum
sanggup lihat semua tentang dia pergi jauh dari aku. Dia pernah jadi segalanya
buat aku, dulu. Dia pernah jadi tempat berlabuh aku, dia tempat pertama yang
aku cari dikala aku butuh apapun dan dia selalu ada, dia bikin aku ngerasain
gimana indahnya jatuh cinta. Dia tau gimana rasanya bikin aku menikmati sebuah
hubungan dengan rasa bahagia sekalipun disana terdapat banyak luka”
“Fan…. Gue bingung mesti jawab apa semua
kata-kata lo barusan. Gue belom pernah ngerasain apa yang lo rasain. Tapi Fan,
cinta itu bukan buat diulang berkali-kali, rasa sakit dan kecewa lo juga bukan
buat diulang-ulang. Lo tau? Nyatuin sebuah cinta yang udah ga mungkin disatuin
itu sama kayak lo nyatuin sebuah vas yang udah pecah. Vas itu bisa jadi satu lagi
tapi vas itu rapuh dan masih ninggalin bekas disana-sini. Lo ibaratin aja itu
lo sama Enggar, lo gak akan pernah bisa ngerasain rasa cinta yang sama kayak
dulu meskipun itu masih dengan orang yang sama, yaitu Enggar. Dan sakit yang
pernah lo rasain itu bakalan terus ngebayang-bayangin lo. Dan lo bakalan
ngerasa sakit yang ditutupin senyum manis, lo bakal jadi pembohong ulung”
“Terus aku harus gimana sekarang Stell?”
“Just move on and never look back, Fan.
I’m sure you can. Buka hati kamu dan biarin Enggar cukup jadi masa lalu kamu,
simpen aja dia baik-baik di hati dan pikiran lo. Lama-lama lo bakal kebiasa dan
gak akan inget dia. Foto yang lo temuin da bikin lo inget dia, buang sekarang
juga. Buang semua tentang dia, gue yakin lo bisa Fan”
“Oke Stell oke, aku bakal lakuin itu
semua. Just letting him go. Aku ikhlasin dia, bahagia dengan siapapun dia
sekarang. Semoga tuhan mempermudah jalanku”
“Nah gini kek, ngomongnya yang
bener-bener. Udah yuk ah, kita kan niatnya mau seneng-seneng malem ini. Jangan
cemberut, jangan ditekuk mukanya. Senyum!”
Setelah sebuah percakapan berbobot
antara aku dan Stella, kami kemudian memutuskan untuk segera menyusul
temen-teman yang mungkin sudah mulai dengan acara kami yaitu karaoke. Rencana
malam ini seharusnya indah dan tak pantas di hancurkan. Kami segera melangakh
menuju ruang karaoke. Pikiranku kembali melayang sejenak, aku harus belajar
untuk mengikhlaskan apa yang tak lagi aku milikki, kerinduanku sebaiknya
menjadi hal yang hanya harus disimpan dan tak baik untuk dimanjakan, kerinduan
itu kadang bisa menjadi obat dan kadang bisa menjadi racun, kadang bisa menjadi
tameng atau kadang menjadi pedang yang menikam kita. Kerinduan ini sebaiknya
disimpan baik hingga mungkin dia menguap entah kemana. Dan satu lagi, rasa
cinta bukan untuk diulang terus menerus tapi untuk dirawat dan dijaa hingga
masing-masing merasakan kenyamanan satu sama lain. Aku pernah jatuh cinta dan
mungkin aku tenggelam dalam cinta terlalu dalam, aku takut jatuh cinta lagi,
tapi aku harus. Cinta tidak akan pernah berhenti, dia hanya akan terus berusaha
dan menyeleksi siapakah orang yang tepat dan kemana kah dia akan bermuara….
Semoga tidak hanya Enggar yang
berbahagia, tapi aku juga..
**
Oh biru
Biarkan diriku merengkuhmu
Hanyutkan dirimu dalam cintaku, tersenyumlah untukku
Oh biru
Indah dirimu hempaskan aku
Jauh ku tenggelam dalam tatapmu
Sesatku dalam kasihmu
Sejuta kata takkan pernah
bisa lisankan maksud rasaku ini
Dia mengalir dalam darahku
Dia setengah dari jiwaku
Dia bayangan atas nyawaku
Dia..
Oh biru
Detak jantungmu membawa aku berlayar tengah samudera cintamu
sesatku dalam kasihmu
Dia mengalir dalam darahku
Dia setengah dari jiwaku
Dia bayangan atas nyawaku
Biarlah dua menjadi satu
- Anda Perdana - Biru
No comments:
Post a Comment